TUJUAN TAREKAT.

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawwuf, sudah kita singgung, bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia, yaitu syari'at, tarekat, hakikat dan makrifat. Meskipun ada golongan yang membagikan ilmu batin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat, seperti yang kita dapati pada penganut-penganut tasawwuf (Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jauziyah, tetapi pembahagian yang kita jumpai adalah pembahagian yang empat macam itu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati sufi-sufi yang mengemukakan kepada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau hakikat saja, di samping ahli-ahli fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari'at saja. Saya tidak ingin membentangkan hal ini panjang lebar dalam risalah yang sangat terbatas halamannya ini, karena cukup dengan saya persilahkan pembaca-pembaca menelaah karangan-karangan Imam Ghazali sebagai salah seorang yang ingin memperdebatkan kedua aliran paham daripada ulama lahir dan ulama batin itu.
Yang perlu saya catat di sini, bahwa tidak ada seorang ulama sufipun, yang ajarannya dan tarekatnya beroleh Pengakuan kebenaran dalam masyarakat Islam memperbolehkan penganut-penganutnya, hanya mengerjakan salah satu saja daripada keempat bahagian itu. Mereka berkata, bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan keempat-keempatnya, karena keempat-keempatnya itu merupakan satu tunggal bagi Islam.
Syeikh Najmuddin Al Kubro, sebagai tersebut dalam kitab ”Jami'ul Aulia' (Mesir, 1331 M), mengatakan syari'at itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan ma'rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari'at dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa nafsu, pada hakikat bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma'rifat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syari'at saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia memperbandingkan itu dengan sampan, tarekat itu lautan, hakikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.
Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al-Khamsyakhanuwi An-Naksyabandi, pengarang kitab yang tersebut di atas, menyimpulkan, bahwa syari'at itu apa yang diperintah, dan hakikat itu apa yang dipahami, syari'at itu terpilih menjadi satu dengan hakikat, dan hakikat menjadi satu dengan syari'at.
Kedua ucapan orang Sufi itu sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Anas bin Malik: ”Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawwuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawwuf saja meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengerjakan kedua-duanya, dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakikat.”
Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembahyang, puasa, haji, dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan kethama'an hawa nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semua itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari'at dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini Al Junaid memperingatkan: ”Semua tarekat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasul-nya.”
Maka oleh karena itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar:
- Menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan.
- Mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani.
- Meninggalkan rukhsah dan ta'wil untuk kesungguhan.
- Mengisi semua waktu dengan do'a.
- Mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.
Mengenai tarekat Naksyabandiyah dapat kita ringkaskan atas dua hal, pertama mengenai dasar, ialah memegang teguh kepada i'tiqad Ahlus Sunnah, meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan, senantiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, hudur terhadap Tuhan, mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan dzikir, menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan, dan berakhlak Nabi Muhammad, sedang kedua syarat-syaratnya, diatur sebagai berikut : i'tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan sunnah, memilih amal menurut syari'at yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid'ah, daripada pengaruh hawa nafsu dan daripada perbuatan yang tercela.
Pokok-pokok dasar tarekat Syaziliyah di antara lain ialah: Taqwa kepada Tuhan lahir batin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan, mencegah menggantungkan nasib kepada manusia, rela dengan pemberian Tuhan dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada Tuhan pada waktu susah dan senang. Menurut tarekat ini pelaksanaan taqwa dilakukan dengan wara' dan istiqamah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantungan nasib dengan sabar dan tawakal, pelaksanaan rela terhadap Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah dengan ucapan tahmid dan syukur.
Untuk kesempurnaan kita sebutkan juga di sini pokok-pokok tarekat Qadiriyah, yaitu lima, pertama tinggi cita-cita, kedua menjaga segala yang haram, ketiga memperbaiki khidmat terhadap Tuhan, keempat melaksanakan tujuan yang baik, dan kelima memperbesarkan arti kurnia nikmat Tuhan.
Demikianlah beberapa catatan mengenai tujuan dan pokok-pokok dasar daripada tarekat-tarekat terpenting, yaitu yang merupakan induk keyakinan daripada beberapa banyak tarekat lain. Insyaallah uraian yang panjang lebar mengenai tarekat dan seluk-beluk ilmu dan amalnya akan diuraikan pada kesempatan lain dalam kitab ini.
Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu
Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya. Imam Ibnu Sirin berkata, “Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami’).
