KEKELUARGAAN TAREKAT.

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Pada waktu kita membicarakan ilmu tarekat, sudah kita singgung bahwa pengertian tentang tarekat itu, yang mula-mula tidak lain daripada suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi kekeluargaan, kumpulan, yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan daripada pemimpinnya dalam suatu ikatan, yang bernama tarekat.
Terutama dalam zaman kemajuan Baghdad dalam abad ke III dan ke IV hijrah, dalam, dalam masa kehidupan lebih banyak merupakan keduniaan daripada keagamaan, kelihatan benar pertumbuhan pengertian tarekat kedua ini. Dalam pada itu dari satu pihak kelihatan lunturnya iman dan tauhid, dari lain pihak timbulnya hidup kebendaan dan kemewahan, yang kedua-duanya menyuburkan kerusakan akhlak dan moral dalam kalangan kaum muslimin. Maka timbullah ulama-ulama, yang ingin hendak memperbaiki kerusakan jasmani dan rohani itu, ingin mengembalikan umat kepada kehidupan Islam yang sebenar-benarnya, seperti yang pernah terjadi dalam masa Nabi. Lalu mereka mengumpulkan pengikut-pengikutnya, mengajar melatih syari'at Islam, serta meresapkan ke dalam jiwa, jazb, rasa ketuhanan melalui jalan, thatiqah, yang kita namakan tarekat sekarang ini, dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam ayat-ayat Al Qur'an atau dalam hadits-hadits. Dengan demikian terjadilah tarekat itu semacam kumpulan amal, yang dipimpin oleh seorang guru, yang dinamakan mursyid, atau syeikh tarekat, wakilnya biasa dinamakan khalifah, beberapa banyak pengikutnya yang dinamakan murid dengan gedungnya tempat berlatih melakukan ibadat dan lain-lain yang bernama ribath dan zawiyah, kitab-kitab yang khusus dipergunakan untuk keperluan itu, baik mengenai ilmu fiqh maupun mengenai ilmu tasawwuf, yang sudah diberi bercorak sesuatu tarekat yang khusus, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula, perjanjian-perjanjian yang tertentu dari murid terhadap gurunya, yang biasa disebut bai'at, dlls. sehingga tarekat itu merupakan suatu kekeluargaan, ukhuwah, yang berbeda antara satu sama lain. Segala sesuatu yang terjadi dalam tarekat itu mempunyai corak yang tertentu. Sampai kepada cara bergaul dan cara berpakaian, cara melakukan ibadat, cara berdzikir dan berwirid, berbeda dengan yang lain. Suatu tarekat merupakan suatu persaudaraan, suatu kekeluargaan, yang tersendiri, seperti yang kita dapati kekeluargaan-kekeluargaan dalam dunia Katholik, yang dalam bahasa Belanda disebut mystieke broederchap. Sebagai perkumpulan tarekat itu, didirikan dan dipimpin oleh seorang bekas murid yang telah mendapat ijazah dari gurunya dengan silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad.
Cara pendidikan dalam bentuk kekeluargaan seperti ini lekas sekali meluas ke Persia, ke Mesir, ke seluruh jazirah Arab. Terutama di daerah Persia, daerah Hindi, dan daerah-daerah sekitarnya, istimewa dalam masa rakyat tidak begitu senang terhadap pemerintahan Umayyah Arab yang dianggap menjajah itu, tarekat-tarekat itu sangat lekas berkembang biak, bahkan merupakan kumpulan-kumpulan rahasia, di mana diajarkan secara halus dan secara tersirat dalam ucapan-ucapan sufi menentang kekuasaan raja-raja duniawi yang memerintah ketika itu.
Lain daripada itu ada sebab yang lain dari kalangan bangsa Arab sendiri, yang membesarkan dan menyokong pertentangan rakyat Persia terhadap pemerintah Umaiyyah. Kita ketahui dari sejarah Islam, bahwa persengketaan antara dua suku Quraisy terpenting, Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim sudah terjadi sejak zaman sebelum Islam. Kedua suku ini memang berbeda sekali dalam kehidupan, sifat dan pendidikannya. Suku Bani Hasyim, yang didalamnya termasuk Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib, berkuasa dalam soal-soal keagamaan, sedang Suku Bani Umayyah menguasai bidang politik ketatanegaraan dan perdagangan. Kekuasaan dunia sebenarnya hampir tidak berarti bagi Bani Hasyim terhadap Bani Umaiyyah yang kaya dan berpengaruh itu, meskipun pemerintahan berada dalam tangan Bani Abdul Muthalib atau Bani Hasyim. Barulah sesudah kebangkitan Islam dan kekalahan tentara Abu Sufyan, kekuasaan dan pengaruh kembali lagi ke dalam tangan keturunan Bani Hasyim. Walaupun Nabi menutup-nutup persoalan ini, orang banyak mengetahui juga. Pada waktu Fath Mekkah seorang sahabat berkata kepada Abbas, paman Nabi: ”Kerajaan kemenakanmu sekarang sudah meluas besar!” Abbas menjawab, bahwa Muhammad bukan raja tetapi Nabi. Meski bagaimanapun Nabi memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dan keluarganya, tetapi dendam Abu Sufyan itu rupanya tidak hilang, hanya ditutup dengan bermohon kepada Nabi untuk mengangkat anaknya Mu'awiyah menjadi pengikut dan pembantunya. Dengan demikian kerja sama berjalan untuk sementara waktu dalam masa hidup Qurun pertama.
Tetapi sesudah Nabi Muhammad wafat, dendam ini timbul kembali. Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan mencoba-coba kembali menghasut Ali dan Abbas menentang keangkatan itu, dengan mengatakan, bahwa Abu Bakar berasal dari keturunan yang hina di antara suku Quraisy, dan menganjurkan Ali bin Abi Thalib dengan janji akan dibantunya dengan kekuatan. Tetapi ikhtiar itu gagal.
Tatkala Usman bin Affan terpilih, timbullah dalam perasaan Abu Sufyan rasa kemegahan dan kepuasan balasan dendam, sehingga ia pergi ke kuburan Hamzah, paman Nabi, sambil berkata: ”Bangunlah! Lihatlah kerajaan kami yang kau perangi telah balik ke tangan kami kembali”. Kelemahan Usman dipergunakan oleh Marwan bin Hakam untuk menempatkan kembali bani Umaiyyah dalam pemerintahan, dan dengan demikian Mu'awiyah, salah seorang yang dilahirkan dalam alam rasa benci dan penuh dendam suku, didikan ayahnya Abu Sufyan dan ibunya Hindun, pembunuh Hamzah, mendapat kedudukan yang kuat (Dr. George Gerdake, Al Imam Ali, terjemah H.M. Asad Shahab, Jakarta 1960).
Meskipun Ali bin Abi Thalib menghindarkan segala perselisihan tetapi ia gugur juga dalam menentang kezaliman Mu'awiyah itu. Setelah tidak dapat dikalahkan dalam peperangan, ia dibunuh secara diam-diam dalam mesjid Kufah. Sebelum ia kembali kepada Tuhannya, masih sempat orang besar sufi ini berpesan, akan memberikan makanan yang cukup dan tempat tidur yang layak kepada pembunuhnya, Abdurrahman, yang tertangkap hidup. Dan kepada dua puteranya, Hasan dan Husein, ia menasehati: ”Jika engkau mengampuninya, maka itu sebenarnya lebih mendekati taqwa. Jaga tetanggamu baik-baik. Keluarkanlah zakat dari harta bendamu untuk fakir miskin. Hiduplah engkau bersama-sama mereka. Berkatalah baik kepada sesama manusia, sebagaimana diperintahkan Allah kepadamu. Janganlah bosan dan meninggalkan kelakuan yang baik dan menganjurkan orang berbuat baik. Rendahkan hatimu dan suka tolong-menolong sesama manusia. Jagalah, jangan sampai engkau menjadi berpecah-belah. Dan jangan bermusuh-musuhan.”
Kematian Ali dan kecelakaan atas keturunan-keturunannya secara menyedihkan ini, memberikan kesan yang mendalam kepada Bani Hasyim. Tatkala kekuatan lahir telah penuh dalam tangan Bani Umayyah, pintu hanya terbuka untuk kekuatan batin, yang disalurkan kepada tarekat-tarekat Sufi, secara kerja sama antara orang Persia dan ahli Bait, dan oleh karena itu nama-nama dari keluarga Ali bin Abi Thalib banyak terdapat kembali di dalam jalinan keyakinan Sufi.
Ada sebab-sebab yang lain yang melekaskan juga tersiarnya tarekat-tarekat itu di tempat-tempat tersebut, di antaranya kebanyakan ulama-ulama penciptanya ialah dari anak Persia, Hindi sendiri, yang meskipun muslim tetapi cara berpikir sangat dekat dengan keyakinan agama-agama Persia atau Hindu. Bahkan banyak di antara amal perbuatannya, seperti khalwat atau bertapa, menggunakan tasbih atau filsafat angka, menggunakan pendupaan, latihan berbaju buruk dan menahan lapar, safar atau mengembara, keadaan fana dan kemasukan jiwa suci, sampai sekarang masih dipersoalkan orang, apakah semua itu asli dari Islam ataukah dimasukan orang ke dalam agama Islam melalui ajaran Sufi yang diciptakan oleh ulama-ulama berasal dari Persia, Hindi, Syiria atau Mesir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam ”Al-Falsafatul Qur-aniyah” (Kairo, 1947). Semua itu merupakan, apakah terambil dari filsafat India dan Yunani. Melalui paham-paham Plato, ataukah ia merupakan bahan-bahan campuran dari sisa-sisa ibadat Mesir, India dan Yunani. Tetapi, katanya, bagaimanapun juga amal perbuatan atau cara pelaksanaan, inti ajaran tasawwuf atau Sufi itu sudah ada terdapat dalam Al Qur'an.
Demikianlah sehari demi sehari kekeluargaan-kekeluargaan tarekat itu, yang pada mula pertama bersifat lemah dan suka rela menjadi pergerakan yang kuat dan disukai oleh umum, terutama orang-orang miskin, bhs. Arab faqir, bhs. Persia darwisy, yang salih serta war'a, tidak mempunyai apa-apa, dan tidak pula mengharapkan apa-apa kecuali beramal mensucikan pribadinya. Orang-orang itu hidup dalam kekeluargaan tempat guru dan pusat dari kekeluargaan itu, bernama ribath (Persia: khangah), yang didirikan dengan sumbangan wakaf dan sedekah dari penganut-penganutnya, sehingga Syeikh dan murid-murid yang berlatih itu tidak usah memikirkan penghidupan lagi, tetapi mencurahkan seluruh tenaganya untuk beribadat, beramal, berdzikir dan melakukan wirid-wirid serta bertafakur dengan senang.
Berkata Imam Syafi’i :
“Barang siapa yang menginginkan dunia, ia membutuhkan ilmu. Barang siapa yang menghendaki akhirat, ia juga membutuhkan ilmu …”.
