MUHAMMAD DAN SUFI.

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Kita sama mengetahui, bahwa agama itu lahir pada waktu manusia merasa dirinya lemah, dan mencari kekuatan yang dapat menolongnya, suatu kekuatan yang dapat mengatasi semua kekuatan-kekuatan lain yang sudah mengalahkan dan melemahkan manusia yang pada mula pertamanya binatang buas itu. Agama itu sebenarnya sudah merupakan tasawwuf, sebagian besar daripada isi agama tidak lain daripada didikan, yang dianjurkan untuk memperbaiki jiwa manusia.
Demikian juga halnya dengan agama Islam. Ia diturunkan sebagai wahyu kepada Muhammad, tatkala ia merasa lemah terhadap manusia-manusia yang kejam sekitarnya. Wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam gua Hira', sejak daripada perintah membaca sampai pada perintah sujud dan bertakarrub, tidak lain isinya daripada ajaran didikan rohani, baik kepada Nabi kita sendiri maupun kepada mereka yang insyaf dan iman untuk dibawa bersama dalam membasmi kezaliman dan kebuasan kafir-kafir Quraisy.
Maka sebagai daripada hidup kerohanian ini kita lihat Nabi Muhammad menjadi seorang kuat, kuat dalam mempercayai adanya Tuhan yang satu dan tunggal, kuat dalam menderita kesukaran dan azab yang dilancarkan kepadanya oleh musuh-musuhnya, kuat dalam menahan lapar dan dahaga, kuat dalam kekurangan pakaian dan alat keperluan hidup yang lain, dan terutama kuat menguasai dirinya menjadi seorang yang paling mulia dalam tindakan dan ucapan-ucapannya, dalam sabar, dalam keberanian, dalam segala sifat-sifat yang terpuji.
Dengan tuntunan jiwa itu Nabi Muhammad sebenarnya merupakan seorang Sufi, yang hidup zahid, hidup sederhana dan menderita, hidup yang tidak serakah kepada kekayaan kesenangan duniawi. Kita dengar cerita-cerita yang menakjubkan pada dirinya, baik ketika ia mengerjakan ibadat, maupun dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Kita dengar, bahwa ia puasa dengan tidak makan sahur dan berbuka, karena tidak ada sesuatu barang makanan pun di rumahnya, yang dapat disediakan isterinya, sedang kepada pengikut-pengikutnya yang belum setingkat dengan dia kesufiannya, ia menasehatkan supaya mereka sunat segera berbuka dan sunat menta'khirkan sahur. Tatkala sahabat bertanya, ia menjawab, bahwa ia Nabi, yang selalu diberi Tuhan makan dan minum baik dalam jaga atau tidurnya.
Memang Nabi selalu menderita kekurangan makanan di rumahnya. Ia hanya makan sekedar untuk hidup, baginya hidup itu bukanlah untuk makan. Katanya: ”Kami ini suatu golongan yang tidak makan kalau tidak lapar, dan apabila kami makan, kami jaga jangan sampai kekenyangan”.
Sebagaimana dengan Nabi, begitu juga dengan keluarganya. Pada suatu kali Nabi merasa lapar, dan pulang bertanya kepada isterinya Aisyah kalau-kalau ia mempunyai sesuatu yang boleh dimakan. Tatkala Aisyah menjawab, bahwa tidak ada sepotong roti atau sebutir gandum pun di rumah, Nabi menjawab dengan senyum : ”Kalau begitu aku puasa”. Pernah kejadian sampai beberapa kali Nabi berbuat demikian itu, yang menunjukkan tidak saja dia tetapi juga keluarganya hidup miskin serumah tangga. Waktunya jangan terbuang, hari-hari itu dipakainya untuk berpuasa, beribadat, dan dalam ibadat itu ia menyembah Tuhannya dan mengadu nasibnya dengan segala penderitaan. Apakah itu bukan hidup Sufi?
Bahkan hari-hari puasa itu diisi dengan sembahyang, dengan dzikir, istighfar, dan do'a, yang dikerjakan sepanjang malam harinya dengan tidak tidur, bahkan kadang-kadang sampai pagi hari, yang olehnya dinamakan ibadat malam yang tidak ternilai pahalanya. Bacaan dalam sembahyangnya diperpanjang, ruku' diperpanjang dan sujud diperpanjang, karena pada waktu malam ibadat itu ia seakan-akan fana di hadapan Tuhannya. Tetapi kalau ia ketahui bahwa dibelakangnya ada orang ma'mum mengikutinya, dengan tiba-tiba dipercepatkannya sembahyang itu dan diringkaskannya bacaan-bacaannya, karena ia tahu bahwa mereka yang dibelakang itu belum setingkat dengan dia keta'atan dan kesufiannya.
Demikian banyak ia beribadat, sehingga pada suatu hari ia terletak keletihan di atas sepotong tikar daun korma, yang memberi bekas pada pipinya. Tatkala ibn Mas'ud datang melihat, ia terharu dan meneteskan air mata, karena seorang yang telah memiliki hampir seluruh jazirah Arab, demikian penderitaan dalam kehidupannya. Ia bertanya, apakah ia tidak baik mencarikan sebuah bantal untuk tempat meletakkan kepala Nabi yang mulia itu, Nabi melihat kepadanya sambil berkata : ”Tidak ada hajatku untuk itu. Aku laksana seorang musyafir di tengah-tengah padang pasir yang luas dalam panas terik yang bukan kepalang, aku menemui sebuah pohon yang rindang. Oleh karena aku letih aku rebahkan diriku sesa'at untuk istirahat dengan niat kemudian aku akan berjalan pula kembali menyampaikan tujuanku menemui Tuhanku”. Apakah ini bukan hidup Sufi dari Nabi Muhammad?
Meskipun kata Sufi dan tasawwuf belum dikenal orang, tetapi apa yang dikerjakan Nabi dan apa yang tersebut dalam Al Qur'an mengenai tasawwuf itu sudah lama dikenal dan dipraktekkan.
Tidak saja oleh Nabi tetapi juga oleh sahabat-sahabatnya. Abu Bakar, yang sebelum Islam seorang saudagar yang kaya raya, sesudah beriman seluruh harta bendanya habis untuk dijadikan korban atas jalan Allah, sehingga seekor onta pun tak ada lagi kepunyaannya. Tiap ada keperluan untuk jihad, Nabi bertanya, siapa yang akan memberikan sumbangannya, jarang ada tangan orang lain yang menunjuk untuk mengatakan siap sedia kecuali tangan Abu Bakar sahabat Nabi dan Khalifah yang pertama itu. Tatkala Umar ingin menyainginya pada suatu hari dengan mengatakan dengan mengatakan : "Saya ya Rasulullah". Rasulullah bertanya : ”Hai, Umar! Berapa banyak hartamu yang sudah engkau sedekahkan untuk jalan Allah?” Umar menjawab : ”Seperdua daripada hartaku”. Kemudian Nabi bertanya kepada abu bakar yang semacam itu, abu bakar menjawab, bahwa seluruh ontanya sudah dibiayakan semua, tidak seekor pun juga ada yang tinggal padanya. Maka kata Nabi : ”Apa yang tinggal lagi padamu?” Jawab abu bakar dengan pendek dan puas. : ”Allah dan Rasul-Nya”. Inilah gambaran Sufi daripada Abu Bakar.
Panah Sufi ini pernah menusuk hati Umar bin Khattab, yang pada suatu ketika sangat kejam dan keras, hendak membunuh Nabi, karena pada keyakinannya dialah yang memecah belahkan golongan Quraisy, dan dia yang menghancurkan agama nenek moyangnya, yang sudah dianut berabad-abad lamanya. Tatkala orang mempersilahkan Umar kembali melihat ke rumahnya, ia pulang dan didapatinya adiknya Fhatimah sedang mempelajari ayat-ayat Qur'an dengan suaminya. Amarahnya menjadi bertambah. Adiknya ditolak terpelanting ke tanah sehingga berdarah mukanya. Kemudian dirampasnya perkamen yang bertuliskan ayat-ayat suci itu untuk dibacanya. Bagaimana keadaan Umar yang keras yang kejam itu, sesudah ia mengenal Tuhan dalam tulisan itu? Hal ini diceritakan oleh Umar sendiri : ”Maka aku bacalah ayat-ayat yang tertulis di atas kulit kambing itu. Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi jagoan, orang yang ditakuti oleh seluruh Makkah, sudah berpuluh-puluh manusia mati dalam tanganku, dalam tanganku sebagai seorang yang paling keras dan berani, tetapi pada ketika itu sekujur badanku gemetar, seluruh tubuhku lemah, seakan-akan tidak berdaya aku berdiri lagi. Apa yang kusangka-sangka dan apa yang menjadi was-was dalam hatiku, semuanya dijawab oleh ayat-ayat Qur'an yang ada pada tanganku, yang demikian bunyinya :
”Hai, Muhammad! Tidaklah Kami turunkan Qur'an ini kepadamu untuk menyusahkan dan memecah belahkan umat. Hanya Kami turunkan dia untuk jadi nasehat dan peringatan bagi mereka yang takut. Qur'an itu diturunkan daripada Tuhan yang menjadikan bumi dan petala langit yang tinggi, yaitu Tuhan yang bersifat pengasih, yang bersemayam di atas singgasana Arasy, Tuhan yang memiliki apa-apa yang terdapat dalam petala langit dan apa yang terdapat dalam lapisan bumi, yang memiliki apa yang terdapat di antara keduanya dan juga di dalam liang bumi yang tersembunyi. Baik engkau berkata keras dan tegang, ia mengetahui seluruhnya, sampai kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam hatimu. Tuhan itu ialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, dan bagi_Nya kembali dipersembahkan segala nama-nama yang baik”.
Sesudah aku membaca ayat itu, aku lalu menyerahkan diri kepada Tuhan, karena aku merasa lemah sebagai manusia, Tuhanlah yang kuat tempat manusia itu menyerahkan dirinya, demikian Umar mengaku kelemahannya pada akhir pergulatannya antara hak dan bathil, antara menyembahan berhala dan menyembahan Tuhan yang sebenarnya. Tatkala kemudian ia menemui Nabi Muhammad di bukit safa, menyerahkan dirinya menjadi anggota keluarga Islam, Nabi memperlihatkan wajahnya yang berseri-seri, karena do'anya sudah diperkenankan Tuhan, yaitu do'a Nabi di kala umat Islam masih lemah, yang berbunyi : ”Ya, Tuhanku! Kuatkanlah Islam ini dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam dan atau Umar bin Khattab”. Di antara dua Umar ini rupanya Umar bin Khattab yang berbahagia, dari seorang jagoan pembunuh menjadi seorang sahabat dan Khalifah yang terkenal adil dan bijaksana dalam sejarah Islam.
Dari cerita ini kita ketahui, bahwa satu pihak manusia itu pada suatu kali merasa lemah dan mencari Tuhannya yang lebih kuat, dari lain pihak manusia yang lemah dan tertekan itu mencari kekuatan rohaninya pada Tuhannya untuk memberikan dia bantuan yang diperlukan.
Sebagaimana Abu Bakar, begitu juga dengan dirinya Usman, dari seorang yang kaya raya sampai menjadi seorang miskin yang semiskin-miskinnya, yang dalam masa menjabat pangkat Khalifah, tidak mempunyai makanan yang cukup di rumahnya. Ia rela hidup miskin, asal sepanjang ajaran agamanya, ia rela dimarahi dan dicaci oleh isterinya karena tidak mempunyai kekayaan apa-apa, asal ajaran suci yang tersimpan dalam Al Qur'an dapat diamalkan dan menghiburkan hatinya dalam gundah-gulana itu. Contoh hidup Sufi yang diberikan Usman bin Affan dalam kehidupan menderita, besar sekali, dan contoh Sufi yang diperlihatkan oleh Khalifah ketiga ini menggantungkan nasibnya semata-mata kepada Tuhan.
Tentang Ali bin Abi Thalib kita tidak usah berpanjang kata, karena dialah salah satu tokoh besar daripada sahabat-sahabat yang menjadi tiang penggerak bagi ajaran tasawwuf itu. Dengan kata-katanya yang tajam Ali meninggalkan pandangan-pandangannya, yang bersifat Sufi, terhadap Tuhan, terhadap dunia, dan terhadap manusia, ia sendiri pernah hendak hidup dengan tiga buah korma sehari, sehingga hampir merusakkan kesehatannya. Ia meninggalkan anak dan meninggalkan cucunya, yang hidup dengan hidup Sufi, bahkan oleh golongan Syi'ah sampai demikian tinggi diagung-agungkan, sehingga tidak ada sebuah kitab Sufi dan tasawwuf pun yang kita bertemu, dengan tidak berjumpa nama Ali bin Abi Thalib. Semuanya itu menunjukan tujuannya yang tidak diarahkan kepada dunia, semua itu menunjukkan jalannya ke arah zuhud, ke arah mencari hidup yang lebih baik, hidup murni dan hidup Sufi pada sisi Allah.
Maka sebagai yang kita katakan kehidupan ini merata di antara sahabat-sahabat, yang kemudian pindah kepada Tabi'in dan pengikut daripada Tabi'in dalam kalangan ulama-ulama Salaf dan Khalaf. Dalam kitab Pengantar Sufi dan Tasawwuf kita uraikan sejarah perkembangan ajaran ini dari Huzaifah ibn Al Yaman, sampai kepada Hasan Basri, dan kepada orang-orang Sufi yang lain. Tetapi belum kita bicarakan dengan tegas perbedaannya antara ilmu tasawwuf ini dengan ilmu syari'at, yang biasa disebut dengan nama julukan ilmu bathin dan ilmu lahir.
"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,"
(QS. An-Nahl 16: Ayat 43)
