ULAMA FIQIH DAN TASAWWUF

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Memang ada perbedaannya antara kedua aliran faham ini. Ahli-ahli Fiqh biasanya berjalan di atas jalannya sendiri, dan ahli-ahli tasawwuf berjalan pula menurut keyakinan sendiri, sehingga terjadilah antara kedua jalan fikiran ini lama-kelamaan suatu jurang yang makin lama makin jauh berpisah satu sama lain. Bahkan kadang-kadang terjadi tuduh menuduh antara golongan yang menamakan dirinya ahli Syari'at dengan golongan yang ingin dinamakan ahli hakikat. Tetapi meskipun demikian jika satu sama lain dekat mendekati dan kenal mengenal, kedua-duanya mempertahankan pendirian dalam garis-garis Islam, maka biasanya perselisihan itu ibarat asap ditiup angin.
Perselisihan-perselisihan ini terus-menerus terjadi, terjadi pada masa dahulu, dan terjadi pada masa sekarang. Misalnya ibn Abdussalam pernah menyerang dengan hebatnya ibn Arabi dan menuduhnya seorang zindik, yang terlepas daripada faham yang benar. Tetapi tatkala seorang sahabatnya berkata kepadanya : "Saya ingin kamu menunjukkan kepadaku seorang qutub". Ibn Abdussalam menunjukkan Ibn Arabi. Sahabatnya berkata : "Bukankah engkau telah menyerang dia? " Ibn Abdussalam menjawab : "Saya hanya memelihara syara' yang lahir". Dari percakapan ini kita ketahui bahwa syara' yang lahir itu tidak dapat mengakui kesufian sebagai suatu kenyataan yang tersendiri dan benar.
Setengah orang Sufi memberi keterangan kepada murid-muridnya : "Jika kamu menghendaki sorga, sebaiknya kamu pergi belajar kepada ahli Fiqh Ibn Madiyan, tetapi jika kamu menghendaki Tuhan yang empunya sorga itu, marilah belajar kepadaku". Kedua percakapan ini dipetik oleh Dr. Zaki Mubarak dari kitab"Nafkhut Thib".
Ucapan Sufi yang terakhir ini seolah-olah menunjukkan kepada kita bahwa jalan ke sorga itu ialah ajaran syari'at, sedang jalan kepada Allah dicapai dengan tasawwuf.
Ibn Al-Katib seringkali menyebut nama Ruzbari dengan gelaran"Sayyidina Abu Ali". yang berarti : Junjunganku Abu Ali". Maka diperingatkan orang kepadanya, apakah gelaran itu tidak terlalu tinggi dan berlebih-lebihan. Ia menjawab : "Karena ia telah pergi dari ilmu syari'at kepada ilmu hakikat, sedang kami kembali daripada ilmu hakikat kepada ilmu syari'at". Maka dengan demikian ia menganggap, bahwa ilmu Fiqh hanyalah merupakan pengajaran umum untuk manusia biasa.
Pada suatu kali orang bertanya kepada ulama Sufi, berapa banyak zakat yang harus dikeluarkan untuk dua ratus dirham. Ulama Sufi itu menjawab : "Untuk orang awam menurut hukum syara' diwajibkan lima dirham. Tetapi kami menganggap wajib atas diri kami mengeluarkan semuanya."
Memang orang Sufi membahagi ulama itu atas dua bahagian, ada ulama umum dan ada ulama khusus. Ulama umum memberikan fatwanya tentang halal dan haram, dan oleh karena itu mereka dinamakan ahli ustuwanah, yang mengajar pada tiang-tiang tertentu dalam mesjid. Tetapi ulama khusus ialah orang-orang yang alim tentang ilmu tauhid dan ilmu makrifat Tuhan, yang dinamakan ahli zawiyah dengan kedudukannya yang terasing dan terpencil.
Memang banyak yang aneh-aneh yang menunjukkan perbedaan dalam kehidupan kedua golongan itu. Muhasibi misalnya tidak mau menerima sesuatu daripada warisan yang ditinggalkan ayahnya sebanyak tujuh puluh ribu dirham, karena berlainan keadaan war'a antara anak dan bapak. Penolakan yang demikian itu hanya didasarkan atas sebuah hadits Nabi yang berbunyi : ”Tidaklah diperkenankan waris mewarisi antara dua orang yang berlainan agama”. Demikian jauhnya pendapat kedua dan bapak ini seakan-akan orang Sufi mempunyai agama sendiri, dan orang lain yang tidak sepaham dengan dia mempunyai agama yang lain pula.
Kita akui bahwa perbedaan ini ada, meskipun kadang-kadang timbulnya secara lunak, kadang-kadang menonjol secara serang-menyerang. Tetapi yang penting kita ketahui adalah pokok pertentangan pendapat itu, yaitu ahli ilmu lahir menganggap syari'at itu peraturan-peraturan yang sudah tetap, terbatas dan disusun rapi, yang memudahkan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara manusia dengan manusia, sedang ahli ilmu batin menganggap tasawwuf itu satu-satunya alat untuk mengemudikan didikan jiwa dan memberi tuntunan kepada hati, tidak usah tersusun rapi, tetapi barang siapa yang tidak mengetahuinya tidak pula dapat menyempurnakan ilmu syari'at itu.
Di antara serangan-serangan yang hebat terhadap orang Sufi itu dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, seorang daripada ahli salaf yang memang tajam sekali lidah dan penanya dalam membongkar sesuatu yang tidak sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah Nabi.
Memang orang takuti lidah dan pena Ibn Taimiyah yang petah dan tajam itu. Ia menyerang tidak karena mengejek dan membesarkan dirinya, tetapi karena ingin mengupas soal, tetapi dengan keyakinan hendak membersihkan Islam dan dengan cukup alasan untuk membuktikan kesalahan-kesalahan yang dikupasnya.
Selanjutnya Ibn Taimiyah pun menyerang secara berapi-api Al Ghazali, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Al Faridh, dan umumnya semua golongan Sufi, yang menurut anggapannya membuat-buat bud'ah baru dalam Islam. Terhadap Al Ghazali serangannya terutama ditunjukkan kepada kitab Al-Munqiz Minaz Zalal dan kitab Ihya Ulumuddin, karena dalam kedua kitab itu Al Ghazali banyak sekali memakai hadist da'if untuk alasan keterangannya.
Dari sudut filsafat Ibn Taimiyah menyerang Ibn Sina dan Ibn Sab'in, yang dituduhnya banyak memasukkan faham-faham filsafat Yunani ke dalam ajaran Islam. Ia bertanya : ”Bukankah filsafat itu membawa kepada syirik dan melemahkan Islam?” Ia mengatakan terhadap orang Sufi: ”Orang Sufi dan Mutakallimun sebenarnya timbul dari satu jurang yang sama”.
Dalam pada itu ia sendiri seorang Sufi. Sesudah beberapa kali ia dimasukkan ke dalam penjara karena perselisihan faham, akhirnya ditempatkan dalam suatu kamar kecil yang bertembok tebal. Meskipun biasanya penjara itu tidak memilukan perasaannya, tetapi pada waktu terakhir sangat menimbulkan kerusuhan dalam hatinya, karena dalam penjara sekali ini ia tidak diperkenankan menulis lagi dan menjawab serangan-serangan musuhnya. Musuh-musuhnya, berikhtiar bersama-sama untuk melarang menyampaikan kitab-kitab, tinta dan kertas kepada Ibn Taimiyah.
Pelarangan ini datang kepadanya sebagai azab yang paling besar. Ia pada mulanya bingung tidak tahu apa-apa yang harus dikerjakannya. Badannya seakan-akan lumpuh tidak berdaya lagi. Pukulan ini terlalu keras mengenai jiwanya. Air matanya berhamburan melalui pipinya yang sudah berkerut-kerut itu, dan bibirnya gemetar seakan-akan hendak tanggal gugur ke bumi. Ia merangkak ke dekat sebuah Mashaf, satu-satunya kitab yang terlupa ditinggalkan orang di atas sajadahnya, dan membaca Qur'an itu dengan suaranya yang sangat sedih, diselang-selingi dengan sembahyang terus-menerus. Dua puluh hari, hanya sesudah dua puluh hari, seluruh badannya habis dan ia jatuh sakit dan meninggal pada malam senin 20 Zulkaedah 728 H (26-27 September 1328 M), sedang ia membaca Qur'an, terguling di atas tikar sembahyangnya.
Konon pada salah satu keadaan naza'a ia mengeluarkan perkataan: ”Ana al Haq” - ”ku kebenaran”, yang oleh setengah orang di artikan, bahwa Ibn Taimiyah mengaku dirinya Tuhan dalam ucapannya. Tetapi banyak orang yang percaya, bahwa ia sebagai orang Sufi telah fana dalam ketuhanan, sehingga hanya Tuhanlah yang ada, hanya Tuhanlah yang benar, yang lain bayangan semata-mata.
Sudah menjadi kebiasaan, manusia itu dicintai sesudah mati, dihormati sesudah ia tidak ada. Kematiannya membuat gempar seluruh Damaskus. Semua penduduk Damaskus merasa kehilangan, baik musuh maupun temannya menerima hari kematian Ibn Taimiyah itu dengan air mata bertetes. Damaskus menunjukkan kehormatan yang paling besar padanya. Dua ratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perempuan mengantarkan kunarpanya ke kuburnya, kunarpa dan jenazah seorang ulama yang terbesar dalam masanya, seorang mujaddid zamannya, seorang Sufi dan seorang ahli salaf yang hidupnya sederhana dan terus terang. Ibn Al-Wardi mengucapkan rangkaian sajak, yang membuat ibn Taimiyah seakan-akan hidup berdiri kembali di tengah-tengah hadirin yang melaut itu dengan perjuangannya: ”Kembali kepada Qur'an dan Sunnah Muhammad yang sebenar-benarnya.
Ibn Jauzi menulis sebuah kitab khusus untuk menyerang golongan Sufi ini, yang diberi nama ”Talbis Iblis”, dengan mengemukakan pendiriannya berdasarkan syara’ dan akal. Sangatlah pedas isi kitab itu, terutama pada waktu ia mencela dan mengejek orang-orang Sufi itu, yang dikatakannya mempunyai keyakinan, bahwa latihan jiwa yang dikerjakannya dapat mengubah kebatinan daripada sifat-sifat manusia, misalnya dapat mematikan syahwat, melenyapkan kemarahan, dan lain-lain sebagainya. Ia kemukakan dengan tegas, bahwa maksud yang demikian itu sekali-kali tidak sesuai dengan maksud syara', dan tidak termasuk di akal, bahwa tabiat-tabiat dan pembawaan manusia dapat dihilangkan dengan riyadhah atau latihan itu. Syahwat itu diciptakan karena ada faedahnya, jikalau tidak ada syahwat atau nafsu makan, pasti manusia itu akan binasa semuanya, jikalau tidak ada syahwat atau keinginan kawin, maka akan putuslah keturunan dan perkembangan manusia. Dalam pada itu keinginan menjadi kaya tidak lain dari suatu akibat daripada tabi'at manusia untuk menyampaikannya kepada syahwat itu. Yang dimaksudkan oleh syara' ialah menahan diri sekedarnya, untuk membuat manusia sedang dan sederhana dalam segala tindakannya
Ia mengatakan pula, bahwa kesungguhan orang-orang menunjukkan perhatiannya kepada kekhawatiran dan penyakit hati semata-mata, dengan mengabaikan sama sekali hukum-hukum syara', adalah mimpi belaka, yang menunjukkan bahwa orang-orang Sufi itu adalah orang-orang yang tidak dapat dengan benar. Ia mengemukakan perkataan Syafi'i, yang menetapkan, bahwa jika seseorang bertasawwuf pagi hari, belum sampai petang orang itu sudah menjadi seorang yang pandir atau ahmaq. Syafi'i pernah juga berkata : ”Apa yang dilatih orang Sufi selama empat puluh hari, tidak ada artinya, semuanya akan dikembalikan oleh akal sebagai semula”. Yunus bin Abdul A'la menerangkan : ”Saya bergaul selama tiga puluh tahun dengan orang Sufi, saya tidak mendapatinya seorang pun berakal, hanya seorang Muslim yang biasa saja”.
Selanjutnya Ibn Jauzi mengejek pendapat orang Sufi, yang sangat memperbeda-bedakan antara syari'at dan hakikat, katanya : ”Ini sangat hina, karena syari'at itu diadakan oleh kebenaran untuk memperbaiki kelakuan manusia, maka oleh karena itu, apa yang disebut hakikat sesudah syari'at itu, yang dianggap terdapat di dalam jiwa manusia, tidak lain daripada ciptaan iblis dan syaitan. Tiap orang yang menghendaki hakikat dengan membuang syari'at, maka orang itu mengacau dan tertipu. Tidaklah benar tuduhan orang-orang Sufi kepada orang-orang yang ingin mempelajari hadits dan Sunnah Nabi : "Sangat sayang mereka itu, menerima ilmunya sebagai orang mati dari orang mati, sedang kita mendapat ilmu dari orang hidup dan tidak akan mati-mati. Mereka berkata, bahwa keterangan ini diriwayatkan oleh bapakku dari nenekku, sedang kita kita berkata bahwa ini diriwayatkan oleh hatiku dari Tuhanku". Mereka itu termasuk orang yang binasa dan membinasakan orang lain dengan khayal-khayal khurafat semacam ini. Yang demikian itu adalah siasatnya untuk memperoleh uang belaka. Orang-orang Fuqaha merupakan tabib-tabib yang ulung, yang kemalahannya pada pembelian obatnya. Pengeluaran kita kepada mereka itu seperti untuk penyanyi. Dan mereka mengatakan pula, bahwa kemarahan orang-orang Fuqaha itu membahayakan merupakan zindik terbesar, karena orang-orang Fuqaha itu membahayakan dengan fatwa-fatwa mereka karena kesesatannya dan kefasikannya. Dalam pada itu yang hak itu tetap berat seperti beratnya zakat". (Talbis Iblis, hal 366-373).
Demikian pula pandangan Ibn Qayyim terhadap orang Sufi. Dan demikian pula ceritanya dan tuduhannya mengenai orang-orang Sufi itu, yang tidak tertahan-tahan dilepaskan oleh Ibn Qayyim, pada waktu ia mempertahankan ahli Fiqh dan ahli hadits. Sedang dia sendiri tidak dapat dikatakan keluar dari orang-orang Sufi. Perkataannya, yang pernah dipetik oleh Dr. Zaki Mubarak dari "Raudhatul Muhibbin", menunjukkan yang demikian itu : "Di antara tanda-tanda cinta yaitu banyak menyebut yang dicintai, terpilin terjalin dalam tiap ucapan dan sebutan. Jika seseorang mencintai sesuatu, kecintaannya itu memperbanyak sebutan yang cintanya, baik dengan hati maupun dengan lidah. Dan oleh karena itu Tuhan menyuruh hamba_Nya mengingatkan dia pada tiap ketika, terutama dalam keadaan yang menakutkan. Maka alamat, cinta yang benar itu ialah pada waktu takut itu". (Tasawwuf Al-Islami, II : 233).
Selanjutnya dapat kita katakan bahwa Ibn Qayyim ada pengarang kitab tasawwuf "Madarijus Salikin", syarah Al-Marawi.
Sementara itu orang-orang Sufi tetap berkeyakinan, bahwa mereka itu warasatul anbiya', peneruskan usaha Nabi-nabi, dan menamakan dirinya Ikhwanus safa, keluarga yang suci, wali-wali Allah dan hambanya yang saleh. Cerita yang dikemukakan mereka itu tentang sifatnya yang tidak benar, yang benar ialah bahwa mereka dalam pembicaraannya, baik dalam pertemuan maupun dalam khalwatnya tidak mengingat dan menyebut selain daripada Allah, tidak berfikir melainkan tentang penciptaannya, mereka tidak melihat dalam segala kejadian, melainkan perbaikan Tuhan, kebesaran nikmatnya dan keindahan pimpinannya, mereka tidak beramal kecuali untuk Allah, tidak menyembah sesuatu kecuali dia, tidak mengingini kecuali Tuhan, dan tidak menempatkan sesuatu harapan pun kecuali pada Tuhan itu. Yang demikian itu karena mereka melihat yang hak dalam segala ciptaan Tuhan, menyaksikan segala halnya, tidak mendengar kecuali yang datang daripadanya, tidak melihat kecuali kepadanya, pendeknya pada hakekatnya tidak kelihatan selain daripadanya. Dan oleh karena itu mereka memutuskan perhubungannya dengan segala makhluk, dan menujukkan seluruh kesempurnaannya kepada pencipta atau khalik dari makhluk itu, kepada Tuhan yang dipertuhankan oleh segala yang ada.
Demikian gambarannya yang diberikan mereka sendiri. Dan apakah Ibn Qayyim dapat memutarkan gambaran ini kepada ahli Fiqh dan ahli hadits saja? Masih disangsikan.
Kepada orang-orang yang semacam itu hidupnya, Nabi pernah mengeluarkan pujiannya : "Selalu berada di tengah-tengah umat ini empat puluh orang laki-laki yang saleh, yang menganut agama Nabi Ibrahim". Dan orang-orang yang saleh itu ialah mereka yang disebut Tuhan dan kitabnya dengan sanjungan "Ulil Albab, Ulin Nahyi, dan ahli penimbang yang bijaksana, mereka itulah wali-wali Allah dan kecintaannya. Terhadap mereka itu Nabi pernah memberi peringatan kepada Iblis : ”Kamu tidak dapat mengalahkan hamba-hambaku itu”. Dan terhadap orang yang seperti itu Nabi pernah membangkitkan perhatian Abu Hurairah dengan katanya : "Wahai, Abu Hurairah! Ikutilah jalan, tarik suatu golongan, yang tidak pernah merasa gentar ditengah-tengah manusia yang berteriak-teriak minta dilepaskan dari api neraka". Tanya Abu Hurairah : ”Siapakah gerangan orang-orang itu, ya Rasulullah? Terangkanlah kepadaku sifat-sifatnya, agar dapat kukenali! Jawab Rasulullah : ”Itulah segolongan daripada umatku yang pada hari kemudian berkumpul pada tempat Nabi-nabi, sehingga tiap mata yang melihat kepadanya menyangka bahwa mereka itu Nabi-nabi, sehingga akulah yang menerangkannya dan memperkenalkannya. Maka kuserukan: ”Umatku! Umatku!Dengan panggilanku itu semua makhluk pun tahulah, bahwa mereka itu bukan Nabi, tetapi umatku yang biasa. Mereka berjalan cepat laksana kilat dan angin, silau semua mata yang melihat kepadanya oleh cahaya mereka”. Maka berkatalah Abu Hurairah : ”Ya, Rasulullah! Suruhlah aku berbuat amal yang sama dengan amal mereka, agar dapat aku bersatu dengan mereka”. Ujar Rasulullah : ”Wahai, Abu Hurairah! Orang-orang itu telah menempuh jalan, tarik, yang sukar, oleh karena itu dapatlah mereka mencapai derajat Nabi-nabi, mereka itu telah dapat, menderita lapar sesudah Tuhan mengenyangkannya, mereka itu telah mengalami bertelanjang sesudah Tuhan memberi pakaian penutup badannya, demikian itu karena pengharapannya yang kuat kepada balasan Tuhan, mereka itu telah pernah meninggalkan segala yang halal karena takut kepada perhitungan Tuhan, mereka itu hanya berhubungan dengan dunia karena untuk keperluan badan yang kasar, tetapi hatinya tidaklah sedikit pun terlekat kepada dunia itu. Wahai, semua Nabi-nabi dan Malaikat heran melihat mereka itu dalam keta'atannya kepada Tuhannya. Maka berbahagialah mereka itu! Aku pun meng-ingini, agar Allah dapat mengumpulkan daku dengan mereka itu…”. Maka menangislah Rasulullah karena kecintaannya hendak melihat orang-orang yang saleh itu (Risalah Ikhwanus Safa I : 299).
Dr. Zaki Mubarak yang merupakan juga tukang kritik yang paling pedas terhadap Al Ghazali dengan kitabnya ”Al-Akhlaq indal Ghazali”, pada akhirnya terpaksa membenarkan pendirian orang-orang Sufi ini, dan membenarkan pula pendirian mereka bahwa orang-orang Sufi itu melihat dirinya waratsatul anbiya', pengganti Nabi-nabi. Katanya, bahwa yang demikian itu tidak aneh, karena orang-orang Sufi pun dalam tingkat pertama adalah orang-orang yang mengetahui dan mengamalkan syari'at dengan sungguh-sungguh, meskipun ada diantaranya yang sederhana keahliannya, tetapi kemudian bertingkatlah ia kepada jalan menguatkan pribadi dan mengarahkan seluruh perhatian kepada kesatuan Tuhan dan persatuan ma'na antara khalik dan makhluk, yang acapkali disebut julukannya wujdaniyah. Sebagai alasan untuk menunjukkan seluruh perhatian kepada hati, orang Sufi mengemukakan perkataan Nabi : ”Minta pertimbangan kepada hatimu, meskipun engkau dicoba dengan beberapa cobaan".
Baiklah saya bawa pembaca kepada kesimpulan yang pernah diambil oleh Dr. Zaki Mubarak dalam menilai ilmu syari'at dan ilmu batin itu.
Ia berpendapat bahwa ada batas antara syari'at lahir dengan keyakinan Sufi. Syari'at lahir hanya layak untuk manusia yang awam, sedang khawas hanya dapat difahami oleh orang-orang yang arif bijaksana, tidaklah mungkin sama mereka tidaklah mungkin sama mereka yang berilmu dengan mereka yang tidak mengetahui dalam memahami sesuatu yang pelik. Dalam alam ini banyak rahasia yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang khawas. Syari'at sendiri merupakan bahan-bahan pelik, yang tidak dapat difahami oleh orang-orang Fuqaha yang awam, kebanyakan ahli-ahli ilmu lahir itu terlalu keras berpegang kepada sesuatu yang tetap sehingga mereka menjadi bodoh dan menutup seluruh pintu ijtihad, seluruh jalan berfikir, seolah dunia itu berakhir pada waktu umatnya berakhir, dan seolah-olah orang-orang alim telah membuka rahasia yang tertutup dan tidak ada yang tersembunyi lagi, yang memerlukan pembahasan dan pemikiran lebih lanjut.
Kebekuan semacam inilah yang menyebabkan Imam Al Ghazali menjatuhkan keputusannya, bahwa bersungguh-sungguh hanya dengan ilmu lahir saja batal adanya.
Kemudian Dr. Zaki Mubarak, setelah memberi uraian yang panjang lebar tentang kekurang-kurangan dan kelebihan daripada macam ilmu itu, yang sesungguhnya harus ditujukan tidak saja kepada yang tersurat di dalam Al Qur'an dan hadits, tetapi juga kepada apa yang tersirat di dalamnya memutuskan, bahwa permusuhan antara ulama lahir dan ulama batin ini tidak berdasarkan kepada sesuatu azas yang benar. Ahli lahir mesti ada, dan perlu adanya, karena mereka melindungi manusia daripada penyerahan dirinya kepada segala persangkaan yang jahat dan perbuatan yang sesat. Ahli batin mesti ada, dan perlu adanya, karena mereka itu menyirami syari'at itu dengan wangi-wangian dengan jalan menyelidiki jiwa manusia, dan meleburkan di atasnya panggilan kelebihan khayal. Ahli lahir memelihara segala ilmu syari'at, dan memajukan Islam itu dari syari'at yang sudah diletakkan, kepada dasar-dasar pergaulan yang diatur oleh hukum Fiqh. Sedang ahli batin ialah mereka yang membangun asabiyah agama yang kuat, dan memberikan gambaran Rasul serta sahabat-sahabatnya dengan suatu gambaran kerohanian yang menakjubkan, yang dapat menciptakan kekuatan yang mendalam untuk memelihara agama yang suci.
Dan oleh karena itu tidak dapat kita abaikan apa yang telah dihasilkan Islam daripada peradaban Sufi, karena tasawwuf itu telah mengisi sudut-sudut yang kosong dari hati kaum Muslimin, dan melembutkan serta memperindah bekas-bekas kebendaan yang terdapat dalam peradaban Fiqh.
"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,"
(QS. An-Nahl 16: Ayat 43)
