TOKOH-TOKOH SUFI (2).

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Demikian beberapa nama tokoh-tokoh Sufi yang disebut dengan sangat sederhana, sehingga sukar bagi kita mengetahui yang dimaksud dengan sebenarnya dan bagaimana riwayat hidupnya serta perjuangannya dalam dunia Sufi. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi orang Sufi menyebutkan nama teman-temannya atau menyebutkan nama dirinya sendiri dengan cara yang sederhana, karena mereka tidak ingin membangga-banggakan dirinya itu disebabkan takut ria dan takabur. Lain daripada itu ada alasan lain, karena banyak di antara tokoh-tokoh besar yang berkeyakinan wihdatul wujud itu dihukum mati atau dikafirkan, sehingga orang semasa dengan mereka takut menulis sejarah hidupnya.
Tetapi meskipun demikian hampir tiap orang Sufi mengetahui keistimewaan tokoh-tokohnya satu-persatu. Orang Sufi kenal akan Muhammad Baha'uddin yang digelarkan dengan Syekh Naksyabandi, karena keistimewaannya dalam memberikan gambaran pengertian hakekat dan mencurahkan uraiannya dalam ajarannya yang disebut bahrul wihdah dan fana, dalam meresapkan rasa tenggelam ke dalam kefanaan Tuhan itu. Begitu juga tiap orang Sufi kenal akan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam keistimewaannya menyampaikan permintaan dan kehendak orang (quwatut tasaruf wal imdad), orang Sufi kenal akan Ali Abul Hasan Asy Syazilli dalam keistimewaannya mengenai pengetahuan dan ilham (ulum wal waridat), orang Sufi kenal akan Ahmad Rifa'i dalam tindakan-tindakannya di luar adat kebiasaan manusia (khirqul adah wal futuwah), orang Sufi kenal akan Sayyid Ahmad Al Badawi mengenai sifatnya belas kasihan dan gerak-geriknya yang lemah lembut serta halus (attarahhum wat ta'athuf), orang Sufi kenal akan Ibrahim Ad-Dasuqi karena bermurah tangan dan keramat (as-sakha'wal karamah), orang kenal akan Muhammad Jalaluddin Ar-Rumi karena ilmu kecintaan dan keasyikan terhadap Tuhan (al-muhhibah wal isyiq), orang kenal akan Suhrawardi karena pelajarannya mengenai kelenyapan dan keleburan manusia ke dalam cahaya kebaqaan Tuhannya (al-ghayabah wal mahwu), orang kenal akan Syekh Khidr Yahya karena riyadah dan latihan dzikirnya (ar-riyadhah wal awahiyah), dan begitu juga orang Sufi, terutama penganut tarekat Naksyabandiyah, sangat kenal Najmudin Al-Kubra, yang khas mendalami mengenai ajarannya tentang memperoleh ilmu secara ilham dan meresapkannya ke dalam darah daging (al-wajad waljarabat).
Sebagaimana orang-orang Sufi kenal kepada mereka itu, begitu juga orang-orang Sufi kenal akan Abu Yazid Al-Bisthami dengan pelajaran ittihadnya, Farabi dengan ittisalnya, dan Al-Hallaj dengan hululnya atau dengan wihdatul adyan-nya.
Pengetahuan orang-orang Sufi tentang kepribadiannya wali-wali itu tidak sedikit, tetapi sampai kepada keadaan yang sekecil-kecilnya mereka mengetahui dengan jelas dan menyampaikan itu melalui mulut ke mulut kepada teman-teman sekeyakinannya. Dengan demikian kita dengar, bagaimana Syamsuddin Al-Hanafi bercerita, bahwa ia telah diperlihatkan Tuhan perbedaan maqam Abul Hasan As-Syazilli. Katanya : ”Maqam kedudukan Abul Hasan As-Syazilli dalam dunia Sufi lebih tinggi daripada maqam Abdul Qadir Al-Jailani. Yang demikian itu ketahuan, bahwa Abdul Qadir Al-Jailani ditanya orang pada suatu hari, siapa gurunya. Abdul Qadir Al Jailani menjawab : ”Adapun di masa yang telah sudah, guruku itu ialah Muhammad Ad-Dibasi. Adapun sekarang aku menghirup kelimpahan ilmu dari dua lautan, satu dari lautan Nubuwah Muhammad dan satu lagi dari lautan Futuwah Ali bin Abi Thalib”. Dalam pada itu tatkala ditanya Abul Hasan As-Syazilli, siapa gurunya, ia menjawab : ”Adapun sekarang ini aku menghirup ilmu pengetahuan dari sepuluh lautan, lima lautan di langit dan lima lautan di bumi. Dari lima lautan di langit aku beroleh ilmu dari Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, dan Ruh suci. Dari lima lautan di bumi aku beroleh ilmu dari Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Nabi Muhammad Saw”. Abul Abbas Al-Marsi berkata, bahwa telah diperlihatkan dalam alam malakut Tuhan, kedudukan Abu Madyan, yang bergantung pada tiang Arasy. Katanya, ”Aku bertanya kepadanya apakah kelebihan ilmumu dan maqammu daripada wali yang lain?” Maka jawabnya: ”Adapun ilmuku terdiri dari tujuh puluh satu ilmu, maqamku keempat Khalifah Nabi, dan melampaui kepada Abdal yang tujuh orang itu”. Maka aku bertanya kepadanya: ”Apa katamu tentang Syazili?. Maka jawabnya : ”Ia lebih daripadaku sebanyak empat puluh ilmu, dia itu ialah lautan yang tidak bertepi dan terduga.
Dengan alasan demikian Al-Hanafi mengambil keputusan, bahwa kedudukan Asy-Syazili lebih tinggi daripada kedudukan Al-Jailani.
Dalam pada itu banyak pula ahli-ahli hakikat yang mempertahankan, bahwa maqam Abdul Qadir Al Jailani lebih tinggi daripada maqam As-Syazilli. Demikianlah orang-orang memperhatikan sangat akan kepribadian wali-walinya itu, dan memberi nilai kedudukannya sesuai dengan keluasan ilmunya dan kehalusan Budi pekertinya.
Saya sendiri mendapat kesan, bahwa sementara ahli-ahli fiqh serang-menyerang , kadang-kadang sampai kafir mengkafirkan antara satu sama lain, dalam dunia Sufi orang berlomba-lomba puji-memuji sesama ulama-ulamanya.
Sebagaimana mereka berbeda dalam keahlian sesuatu bahagian ilmu Sufi, begitu juga orang-orang atau tokoh-tokoh Sufi itu berbeda dalam menempuh jalan, thariqah, atau dalam melakukan riyadhah, suluk, untuk mencapai tujuan terakhir daripada ajaran dan latihan sufinya, yaitu mencari hubungan dengan Tuhannya.
Sukar memisahkan tokoh-tokoh sufi dari faham Wihdatul Wujud, karena hampir semua tokoh-tokoh sufi dalam tujuannya terakhir dari pelajaran dan latihannya itu ialah menemui dan mempersatukan diri dengan Tuhannya. Mencintai Tuhan menurut ajaran sufi tidak tidak lain daripada bersatu antara khalik dan makhluk, dengan lain perkataan lenyap dan aku lebur segala yang makhluk itu dalam keabadian dzat Tuhannya. Ke arah tujuan ini tokoh-tokoh Sufi menempuh bermacam-macam jalan, yang dapat membawa mereka pada akhirnya bersatu dengan Tuhannya, baik dalam Ittihad atau hulul, yang bersamaan dengan ajaran Niryana dari agama persi dan Hindu, maupun dalam keadaan ittisal, berhubungan ilmu dan ilham.
Di antara mereka ada yang menempuh jalan melalui latihan jiwa, dari jiwa yang rendah, yang dinamakan nafsul amarah, ke tingkat nafsul lauwamah, ke tingkat nafsul muthmainnah, ke tingkat nafsul mulhamah, ke tingkat nafsul radiyah, ke tingkat nafsul mardhiyah, dan kemudian ke tingkat nafsul kamaliyah. Dalam pada itu ada pula yang menempuh jalan didikan tiga tingkat, yang dalam ilmu tasawwuf dinamakan takhalli, thahalli, tajalli, yang masing-masing berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kemudian mengisi dengan sifat-sifat yang terpuji, yang sesudah itu barulah beroleh kenyataan Tuhannya. Ada pula yang menempuh jalan dzikir, senantiasa mengucapkan dan senantiasa mengingat Tuhannya, yang dinamakan maqamatuz dzikir, yang terdiri dari maqam ihsan, meningkat kepada maqam ahdiyah, meningkat kepada maqam ilmiyah, meningkat pula kepada maqam fa'iliyah, meningkat ke maqam malakiyah, meningkat ke maqam hayatiyah, dan akhirnya ke maqam mahbubiyah, yang dapat membawa seseorang kepada maqam yang kesepuluh, yaitu maqam muraqabatu tauhid syuhudi, dalam keadaan mana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya ('ainul basirah). Yang demikian ini didasarkan atas pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah : ”Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan?", yang dijawab oleh Nabi : "Tidak lain daripada dzikir kepada Tuhan". Atau didasarkan kepada hadis Qudzi, yang berbunyi : "Aku selalu duduk dengan orang yang dzikir kepada_Ku". Lalu ada yang membagi dzikir itu atas bermacam-macam cara, Naksyabandi umpamanya mengutamakan sebutan lafad Allah dalam hati yang tidak berbunyi ke luar, Syabiliyah misalnya mengutamakan dzikir nafi dan isbat lafadh la illaha illallah, yang kesemuanya ucapan dzikir itu dilakukan demikian rupa, sehingga mengalir ke seluruh bagian tubuh seperti aliran darah.
Al Ghazali membuka jalan yang dinamakan muhlikat dan munjilat, dengan menunjukkan sifat-sifat yang membahayakan bagi jiwa manusia, yang harus dijauhkan, dan sifat-sifat yang dapat membawa manusia itu kepada kebahagiaan, yang harus diamalkannya. Lalu ia memberikan pula suatu latihan bertingkat, yang dinamakannya murabathah dan mukasyafah, yang terdiri dari musyarathah, muraqabah, muhasabah, muaqabah, mujahadah dan mu'atabah, suatu latihan jiwa yang diperbandingkan dengan perdagangan, membuat syarat-syarat penyerahan modal, yang harus diiringi dengan pengawasan, kemudian perhitungan laba rugi, kemudian menyesali diri kalau tidak beroleh laba, dan bersungguh-sungguh berusaha untuk menyelamatkan modal itu agar dapat meningkat kepada munazarah dan mukasyafah, dalam keadaan terang benderang. Sebagaimana tokoh Sufi yang lain Al Ghazali pun membawa pengikutnya kepada liga', bertemu dengan Tuhannya, jika tidak di dunia di hari akhirat nanti.
Lain daripada itu ada pula jalan, suluk, ke arah itu dengan terus menerus berfikir, tafakur, lalu mendapat ilmu bertingkat, dari ilmu mukasyabah, kepada tingkat ilmu mukasyafah, kepada ilmu mu'amalah dan akhirnya kepada ilmu laduniyah, yang langsung dari Tuhan. Bahkan ada yang dengan jalan, yang dinamakan martabatut thariqah, yaitu yang terdiri atas empat macam tingkat, pertama taubat (macam-macam pula, seperti taubat kafir, taubat fasik, taubat mu'min, taubat khawas, dan taubat khawasul khawas), kedua istiqamah, yang terdiri dari melakukan tha'at dan menjauhkan ma'siat, ketiga tahzib, yang terdiri dari beberapa riyadhah, seperti samat, diam diri, 'uzlah, menjauhkan diri dari pergaulan manusia, saum, berpuasa, sahar, mengurangi tidur, dan keempat ialah taqrib, yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan masuk khalawat dan terus menerus dzikir, yang kalau dikerjakan dengan segala petunjuk-petunjuknya konon akan membawa seseorang pada akhirnya kepada maqam nihayah, fana dalam baqanya Tuhan, hilang lenyap dalam kehadirannya Tuhan (fana'uhu 'ala baqaihi, wa ghayabatuhu'ala hudhurihi). Dalam keadaan ini menurut Naksyabandi menjadi sempurnalah orang itu (summa akmala). Lih. ”Jami'ul Usulfil Aulia" (Mesir, 1331 H).
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim”. (HR. Ibn. Majah, Thabrani, Baihaqi).
