Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
PENDIDIKAN SUFI.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Orang Sufi mempunyai pandangan tersendiri dalam menentukan buruk baik. Terutama dalam menentukan sifat-sifat yang baik dan sifat-sifat yang buruk bagi jiwa seseorang, orang-orang Sufi meletakkan pengertian yang sangat berlainan dengan mereka, yang melihat perbaikan akhlak manusia dari sudut kemajuan dunia. Memang hal ini sudah kita singgung, bahwa tujuan Sufi mengenai pendidikan manusia terutama diletakkan dalam menanam rasa kebencian kepada kedunian, yang dianggapnya merupakan sumber kecelakaan dan kekacauan bagi kehidupan perdamaian manusia, dan oleh karena itu dalam mengajarkan akhlak kepada manusia itu ditekankan, melepaskan diri daripada keserakahan dunia. Lapar umpamanya bagi orang Sufi mempunyai nilai tertinggi dalam pendidikan rohani, karena kekenyangan baginya menyebabkan manusia melupakan Tuhan, dan menimbulkan atau menguatkan hawa nafsu untuk berlomba-lomba mencari kekayaan duniawi. Dalam pada itu bagi mereka yang ingin maju di atas permukaan bumi menganggap kekenyangan itu bukanlah sesuatu yang tercela, bahkan dapat menambah nafsu dan kegiatan bekerja untuk membangun usaha-usaha yang menghendaki tenaga fikiran dan badan manusia.

Perbedaan dalam pandangan baik buruk ini melahirkan ajaran akhlak, yang kadang-kadang berbeda dengan anggapan kita, Junaid Al Baghdadi, salah satu tokoh sufi yang terbesar, pada waktu menerangkan tujuan Sufi, mengatakan: "Kami tidak mengambil tasawuf ini daripada fikiran dan pendapat orang, tetapi kami ambil dari menahan lapar dan meninggalkan kecintaan kepada dunia, meninggalkan kebiasaan kami sehari-hari, mengikuti segala yang diperintahkan, dan meninggalkan segala yang dilarang". Maka terjadilah bagi orang Sufi suatu pendidikan etika atau budi pekerti, yang tersusun dari tiga dasar : pertama mengosongkan diri dari sifat-sifat keduniaan, yang dengan istilah Sufi dinamakan takhliyah, terbagi atas dua usaha, yaitu menjauhkan diri dari segala maksiat lahir dan dari segala maksiat batin; kedua mengisi kembali atau menghiasi pula jiwa manusia itu dengan sifat-sifat yang terpuji, yang mereka namakan tahliyah, yang terbagi atas dua usaha pula yaitu ta'at lahir dan ta'at secara batin dalam menjalankan semua perintah Allah. Kemudian yang ketiga ialah tajalli, meresapkan rasa ketuhanan.

Oleh orang Sufi dalam pelajarannya didahulukan menjauhkan diri daripada maksiat, lebih dahulu daripada mengerjakan segala keta'atan, karena usaha menjauhkan diri pada maksiat itu atau meninggalkan segala larangan Tuhan lebih sukar daripada mengerjakan keta'atan atau amal kebajikan. Imam Al Ghazali menerangkan, bahwa dalam agama itu ada dua dasar pendidikan, pertama meninggalkan segala pekerjaan yang terlarang, kedua mengerjakan segala pekerjaan kebajikan yang diperintahkan. Untuk menta'ati segala perintah mengerjakan kebajikan atau amal ibadat itu, tiap orang sanggup sekedar kuasanya; tetapi meninggalkan syahwat atau hawa nafsu tidaklah dapat dikerjakan oleh sembarang orang, kecuali orang-orang yang benar, orang-orang yang telah memindahkan jiwanya dari suasana kejahatan kepada suasana gemar berbuat kebajikan.

Di antara pekerjaan-pekerjaan maksiat lahir yang harus dijauhkan ialah segala kejahatan, yang dapat dikerjakan oleh anggota-anggota badan, seperti oleh mulut, oleh kedua belah kaki, oleh kedua mata, kedua telinga dan sebagainya, karena semua anggota-anggota badan manusia itu akan bertanggung jawab kepada Tuhan terhadap perbuatannya. Terutama ditentukan kejahatan yang dikerjakan oleh tujuh macam anggota badan, mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan kaki, yang konon karena itulah maka Tuhan pun menjadikan tujuh macam neraka, untuk tempat penyiksaan mereka yang melakukan kejahatan dengan salah satu daripada tujuh anggota itu.

Itulah sebabnya mata itu harus digunakan melihat hal-hal yang tidak haram, telinga, untuk mendengar bacaan Al Qur'an dan hadits Nabi, tidak untuk mendengar segala sesuatu yang diharamkan atau dicela, seperti umpatan dan fitnahan, lidah untuk mengucapkan dzikir dan istighfar, membaca Al Qur'an dan sebagainya, tidak untuk menghasut dan berdusta, yang semuanya membawa kepada neraka, selanjutnya selanjutnya menjaga agar perut itu diisi dengan barang-barang yang halal, tidak dengan yang haram, kemaluan atau faraj itu dikendali daripada kejahatan riba, tangan dari perbuatan yang terlarang, misalnya membunuh atau memukul orang, mencuri atau memegang sesuatu yang haram, begitu juga kaki hanya digunakan untuk pergi mengerjakan ibadat, tidak untuk dibawa berjalan mengerjakan segala yang terlarang.

Demikianlah orang Sufi mendidik manusia itu menggunakan anggotanya untuk berbuat baik terhadap Tuhan dan manusia, tidak untuk berbuat jahat, karena pada asalnya segala anggota manusia itu dijadikan Tuhan sebagai nikmat dan amanat bagi manusia. Maka oleh karena itu Imam Al Ghazali berpendapat, menggunakan nikmat dan amanat Tuhan itu untuk berbuat dosa dan maksiat adalah kejahatan yang terbesar dan kedurhakaan yang tidak ada bandingannya terhadap Tuhan. Bahkan, demikian kata Al Ghazali selanjutnya, menjadi kewajibanlah bagi manusia memelihara dan mengambil faedah untuk kebajikan yang sebesar-besarnya daripada nikmat dan amanat yang diberikan Tuhan itu. Tiap-tiap kamu adalah pengawas, dan tiap-tiap pengawas diminta pertanggungan jawab terhadap pengawasannya, demikian kata sebuah hadits Nabi.

Kita tidak akan berpanjang kalam tentang maksiat lahir ini, yang biasanya diuraikan juga dalam syari'at secara lebar panjang dengan segala akibat-akibatnya dan hukuman-hukuman agama terhadap maksiat lahir itu. Kitab-kitab fiqih penuh dengan uraian-uraian mengenai hukuman kufur, syirik, murtad, dusta, munafik, zalim, pembunuhan, meninggalkan ibadat yang wajib, berkhianat, mencela sesama manusia, berzina, mengerjakan liwath, memberi malu kepada orang, menentang penguasa, mencuri, merampok, melanggar perjanjian, tidak membayar zakat, memakan harta anak yatim, memakan riba, meminum-minuman keras, berjudi, memakan makanan yang haram, berlaku zalim, berlaku fasik, dan lain-lain sebagainya, yang tidak saja diancam dengan dosa, tetapi juga diawasi dan dihukum oleh penguasa-penguasa yang ditugaskan untuk keselamatan masyarakat manusia.

Lebih penting daripada itu ialah pembicaraan tentang menjauhkan diri dari maksiat batin, yang oleh orang Sufi dijadikan mata pendidikan terhadap pengikut-pengikutnya. Usaha dalam lingkungan takhliyah batiniah ini segera diadakan terhadap murid-murid tarekat, sesudah mereka melakukan taubat, yang dinyatakan di hadapan gurunya. Membersihkan diri daripada sifat-sifat yang tercela oleh orang Sufi dianggap perlu, karena merupakan najis kiasan, najasah ma'nawiyah, yang karena adanya najis-najis demikian itu pada jiwa seseorang, tidak memungkinkan manusia itu mendekati Tuhannya, sebagaimana kalau manusia itu mempunyai najis zat, najasah suriyah, tidak memungkinkan dia mendekati atau melakukan ibadat-ibadat yang telah diperintahkan Tuhan. Maka haruslah tiap orang Sufi membersihkan jiwanya dari sifat-sifat yang tercela itu, dan memakai dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji.

Sekarang datang pertanyaan, apakah hal atau sifat manusia itu dapat diubah dengan pengajaran dan latihan membiasakannya, terutama sifat atau tabi'at yang telah menjadi pembawaan bagi manusia dan menjadi kebiasaannya bertahun-tahun?

Mari kita mendengar, bagaimana cara berfikir Al Ghazali, yang dapat kita anggap mewakili dunia Sufi, menghadapi persoalan ini. Dr. Zaki Mubarak dalam kitabnya "Al-Akhlaq indal Ghazali" (Mesir, 1924) mencatat beberapa buah fikiran Al-Ghazali tentang akhlak, sebagai berikut.

Al Ghazali menamakan akhlak itu dengan bermacam-macam sebutan, sekali dinamakannya Thariqul Akhirah jalan ke akhirat, sekali dinamakannya Ilmu Sifatil Qalb, ilmu mengenai sifat hati, pada kali yang lain diberi bernama Asraru Mu'amalatid Din, rahasia amalan-amalan agama, dan pada lain kesempatan dinamakannya Akhlaqul Abrar yang kesemuanya menjadi nama-nama dari karangannya yang terkenal. Tetapi yang terlengkap ia membicarakan ethika Sufi ini ialah dalam kitabnya, yang terbesar dan masyhur, bernama Ihya Ulumuddin, yang artinya menghidupkan ilmu agama. Akhlak baginya berarti mengubah bentuk jiwa dan mengembalikannya daripada hal dan sifat-sifat yang buruk kepada hal dan sifat yang baik, dari sifat-sifat yang tercela kepada sifat-sifat yang terpuji oleh agama Islam, sebagaimana yang telah menjadi perangai ulama-ulama, syuhada', saddiqin dan Nabi-Nabi. Sementara dalam ethika Islam biasa, misalnya dalam karangan Ibnu Maskawaih, kita baca banyak pikiran-pikiran Aristoteles dan Galeneus digunakan untuk menguatkan alasan, dalam karangan-karangan Al Ghazali banyak sekali kita bertemu dengan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari, Mahasibi, terutama Abu Thalib Al Maliki (W 386 H), pengarang Qutul Qulub, dan Ibn Hawazan Al Qusyairi (W 465 H) pengarang Risalah Qusyairiyah, kedua pengarang dari kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir Al Ghazali, begitu juga perkataan Nabi isa, Nabi Musa, dan Nabi Daud serta Nabi-Nabi yang lain.

Dalam kitab Al-Misan, Al Ghazali mengemukakan bahwa akhlak yang baik itu dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan yang terdapat dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu dan kekuatan amarah. Dikemukakannya juga, bahwa akhlak yang baik itu acapkali berarti menentang apa yang digemari oleh manusia, sesuai dengan ayat Al Qur'an, yang berbunyi :

”Terkadang-kadang apa yang engkau benci itu menjadi kebaikan bagimu, dan apa yang engkau sukai itu menjadi kejahatan bagimu”. QS. 11: 216).

Selanjutnya Al Ghazali menerangkan, bahwa berakhlak yang baik itu artinya menghilangkan semua adat-adat kebiasaan yang tercela dan sudah diperincikan oleh agama Islam, serta menjauhkan diri daripadanya sebagaimana menjauhkan diri daripada tiap najis dan kekotoran, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, menggemarinya, melakukannya dan mencintainya. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al Ghazali menguraikannya bahwa akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia, yang dengan mudah dan tidak perlu berpikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Maka apabila tingkah laku itu indah dan terpuji menurut akal, dinamakanlah akhlak yang baik. Apabila yang lahir itu perbuatan tingkah laku yang keji, maka dinamakanlah akhlak yang buruk. Jadi menurut pendapat Al Ghazali jiwa manusia itu tak dapat tidak akan mengeluarkan dua macam golongan sifat, pertama golongan sifat yang terpuji dan kedua golongan sifat yang tercela. Al Ghazali menetapkan, bahwa tingkah laku seseorang itu adalah lukisan batinnya, yang disebabkan oleh tabiatnya, yang pada awal mulanya tidak merupakan perbuatan baik atau buruk, tidak merupakan kekuasaan baik atau buruk dan tidak merupakan perbuatan baik atau buruk dan tidak merupakan perbedaan baik atau buruk, tetapi agamalah dan akal fikiran manusialah yang mengukurnya baik dan buruk itu.

Pada pendapat Al Ghazali kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala sesuatu pembentukan, tetapi lebih condong kepada kebajikan daripada kepada kejahatan. Jika kemudian diri manusia itu membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya, apabila ia membiasakan diri kepada kebajikan, maka menjadi baiklah perikelakuannya. Jika seorang manusia membiasakan diri dari sejak kecil makan tanah, maka tanahlah yang akan menjadi makanannya yang enak, tetapi Tuhan menunjukkan makanan baginya yang yang lebih enak dan minuman yang lebih sedap, jika ia membiasakan dirinya kepada petunjuk itu, maka akan berpindahlah kelezatan seleranya.

Selanjutnya Al Ghazali berpendapat, bahwa memang ada manusia itu yang dilahirkan sudah berakhlak dan berbudi pekerti baik, sehingga ia tidak memerlukan lagi pengajaran dan pendidikan, seperti Isa, Yahya, dan Nabi-Nabi yang lain. Begitu juga kadang-kadang terdapat anak yang sejak lahir sudah petah dan lancar lidahnya berbicara, dengan tidak usah diajar dan dilatih lebih dahulu. Tetapi sebaliknya banyak manusia yang tidak demikian kelahirannya. Dan oleh karena itu akhlak itu harus diajarkan kepadanya, takhalluq, yaitu melatih jiwanya kepada pekerjaan-pekerjaan dan tingkah laku yang dikehendaki. Jika seorang menghendaki, agar ia menjadi pemurah, maka ia harus membiasakan dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifaf pemurah itu, hingga sifat murah tangan itu, menjadi tabiat baginya.

Al Ghazali termasuk orang yang berkeyakinan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai, diubah kepada mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji, dan melihat ada hubungan yang erat antara anggota badan dan perbuatan dengan jiwa atau hati manusia. Tiap sifat tumbuh dari hati manusia dan memancarkan akibat hubungannya dengan jiwa atau hati manusia itu. Seseorangnya kepada anggotanya, sebaliknya tiap gerak gerik anggota ada yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksa tangannya membiasakan menulis huruf bagus itu. Apabila kebiasaan ini sudah lama, paksaan itu lambat laun tidak perlu lagi, karena digerakkan dengan sendirinya oleh jiwa dan hatinya.

Al Ghazali mengambil kesimpulan, bahwa mendidik budi pekerti seseorang itu sangat mungkin, dan menghilangkan sifat-sifat yang tercela pada diri seseorang bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Kalau tidak demikian. Nabi tidak akan berpesan: ”Perbaikilah akhlak atau kelakuanmu”. Ucapan ini menunjukkan kemungkinan dalam memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang buruk dari manusia itu. Kalau tidak, apa pula gunanya ada perintah disuruh memberi nasehat yang baik, pengajaran yang baik, dan perintah kewajiban dan amar makruf nahi munkar sesama manusia? Sebagaimana binatang liar dapat dijinakkan, begitu juga manusia yang jahat dapat dijadikan manusia yang baik dan lemah lembut budi pekertinya.

Dengan pengertian, tabiat manusia itu dapat diubah, Al Ghazali lalu membagi manusia itu empat bagian:

  1. Manusia yang bodoh, yang tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang indah dan yang buruk. Manusia ini termasuk golongan orang yang mudah sekali diubah tabi'at atau perangainya. Ia hanya membutuhkan seorang guru yang akan memberikan dia petunjuk dan pimpinan, yang harus dita'atinya.

  2. Manusia yang mengetahui akan keburukan sesuatu yang buruk, tetapi tidak membiasakan dirinya mengerjakan yang baik bahkan yang buruk itu dikerjakannya karena menuruti hawa nafsunya. Mengubah tabi'at atau perangai manusia macam ini lebih sukar dari golongan pertama, karena dasar kesukarannya telah berganda. Untuk memperbaikinya, haruslah menghilangkan lebih dahulu kebiasaannya kepada kejahatan dan kemudian membiasakan dirinya kepada kebalikannya.

  3. Manusia yang telah mempunyai keyakinan, bahwa yang buruk itu baik dan indah buruk baginya. Manusia yang seperti ini menurut Al Ghazali tidak dapat diperbaiki, kecuali sebagian kecil, karena sebab-sebab kerusakan budi pekertinya itu telah menyesatkan dan berganda-ganda.

  4. Manusia yang telah berkeyakinan mengerjakan sesuatu kejahatan, serta melihat kelebihan dan kebanggaannya dalam melakukan kejahatannya itu. Al Ghazali berpendapat, bahwa memperbaiki golongan ini sama dengan menjinakkan macan atau memutihkan yang hitam.

Sebagai tindakan pertama untuk memperbaiki diri, haruslah seorang manusia melihat kepada kekurangan-kekurangan dirinya, haruslah diinsafkan kepada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Untuk mengenal kekurangan diri itu, Al Ghazali menunjukkan beberapa jalan :

  1. Manusia yang hendak memperbaiki dirinya itu mempergauli seorang guru yang dapat melihat kekurangan-kekurangannya, dapat menerangkan apa kesalahan-kesalahannya, kemudian diturutinya nasihat orang itu dan bersungguh-sungguh mengadakan perubahan.

  2. Mencari seorang teman yang benar, yang dapat mengawasi dia dan mengiringinya, melihat kelakuannya dan perbuatannya serta menegor dia mengenai tiap-tiap akhlaknya yang buruk dan perbuatannya yang keji, dengan terus terang membuka kesalahan-kesalahan lahir dan batinnya.

  3. Mendengar dan memperhatikan kekurangan-kekurangan dirinya dari lidah dan perkataan musuh-musuhnya, karena musuh itu menyebut secara terus terang apa-apa yang jahat padanya, bahkan kadang-kadang kritik-kritik itu lebih berfaedah daripada ucapan-ucapan seorang teman yang suka menjilat dan menyembunyikan kekurangan-kekurangannya itu.

  4. Bahwa ia banyak mempergauli manusia dan mengawasi sifat-sifat yang tercela pada mereka, serta mengambil pelajaran untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Al Ghazali membentangkan dalam kitab-kitabnya sifat-sifat yang tercela di samping sifat-sifat yang terpuji sebagai obatnya serta usaha-usaha yang harus dilakukan oleh mereka, yang ingin hendak memperbaikinya dirinya itu. Pembicaraan tentang perbaikan sifat-sifat ini, kita tempat dalam bahagian lain yang munasabah.

🙏

"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui," (QS. An-Nahl 16: Ayat 43)