Basmalah



”Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

SUFI DAN TASAWUF.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Orang Sufi melihat kerusuhan dalam dunia ini disebabkan oleh dua Keadaan, pertama karena manusia itu tidak percaya adanya Tuhan, kedua karena manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab yang pertama mengakibatkan tidak mengenal Tuhan, yang mengakibatkan pula tidak takut dan tidak patuh kepada perintah-perintah dan larangan Tuhan, yang merupakan peraturan-peraturan untuk mengadakan perdamaian antara manusia satu sama lain di atas muka bumi ini. Sebab yang kedua mengakibatkan timbul beberapa keadaan, seperti mencintai harta benda dan kekayaan, mencintai makan minum yang lezat yang berlimpah-limpah, mencintai anak istri yang berlebih-lebihan, mencintai rumah tangga yang besar dan megah, mencintai kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, mencintai nama yang harum dan masyhur, yang akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan bumi.

Baik keadaan tidak mengindahkan peraturan-peraturan Tuhan mengenai pergaulan antara manusia dengan manusia maupun akibat-akibat mencintai diri sendiri yang berlebih-lebihan itu, maka timbullah pertentangan-pertentangan kepentingan antara manusia dengan manusia dan antara golongan dengan golongan, yang merusakkan persaudaraan serta perdamaian dalam pergaulan. Masing-masing manusia itu bekerja untuk dirinya sendiri dan untuk golongannya sendiri, dengan tidak memperdulikan kepentingan orang atau golongan lain, yang sebenarnya harus hidup bersama-sama, secara gotong royong, secara adil dan secara makmur bersama. Maka terjadilah pula rebutan hidup mewah rezeki serta kekayaan yang tidak ada batasnya. Apabila perbuatan ini sampai ke puncaknya, tidak dapat disingkirkan adanya perkelahian antara manusia dengan manusia, atau adanya peperangan antara golongan dengan golongan. Maka lenyaplah keamanan dan perdamaian di atas muka bumi itu, disebabkan kekufuran terhadap Tuhan dan keserakahan terhadap kepada diri sendiri.

Bagaimana usaha melenyapkan pertentangan itu? Tentu saja ada bermacam-macam cara untuk menyelesaikan pertentangan tersebut, menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing manusia itu. Ada yang mendasarkan kepada keyakinan politik, ada yang mencari penyelesaian dalam perbaikan sosial, bahkan ada yang ingin menyelesaikan dengan jalan ekonomi, atau penyusunan kekuatan dan peraturan.

Orang-orang agama, terutama golongan Sufi, mengatakan, bahwa penyelesaian untuk memperbaiki keadaan itu tidak dapat dengan sempurna dicari dalam kehidupan lahir, karena kepatuhan kehidupan lahir itu hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia, yang digerakkan oleh tiga pokok, yaitu hawa nafsu, akal dan kegiatan, syahwat, 'aqal dan ghadhab. Jika ketiga perkara seimbang kekuatannya, maka hidup manusia itu menjadi normal, tetapi jika salah satu daripadanya melebihi yang lain, maka menjadilah hidup manusia itu abnormal. Dengan lain perkataan perdamaian itu adalah perseimbangan, jika perseimbangan itu tidak terdapat, maka terjadilah pertentangan kepentingan antara pribadi seorang manusia dengan manusia lain.

Jika yang terbanyak mempengaruhi manusia itu akalnya, maka masyarakatnya itu menjadi suatu masyarakat yang baik, tetapi jika yang terbanyak mempengaruhi manusia itu syahwatnya atau ghadhabnya, maka masyarakat manusia itu akan menjadi suatu masyarakat yang penuh dengan kekacauan dan pertentangan belaka.

Orang Sufi memikirkan suatu cara tersendiri sebagai usaha melenyapkan pertentangan kepentingan itu. Mereka berpendapat bahwa ketiga pokok penggerak hidup rohani manusia itu sebenarnya berasal dari yang satu jua, yaitu hawa nafsu atau syahwat. Hawa nafsu dan syahwat inilah yang acapkali menggiatkan kehidupan manusia, tetapi yang acapkali juga menumbuhkan dua sebab kerusuhan dunia. Oleh karena itu ajaran Sufi ingin mematikan syahwat itu atau mengurangi sampai kepada minimum kekuatan, karena mereka berkeyakinan, bahwa syahwat itulah yang sebenarnya menyebabkan keinginan menimbulkan kekayaan, mencari makanan dan minuman yang sedap, memburu nama, kedudukan, pangkat dan kekuasaan pada manusia, yang akhirnya menyebabkan adanya perbuatan dan perkelahian di atas muka bumi. Dengan keyakinan orang Sufi ingin mengajarkan manusia membiasakan tahan lapar, memakai pakaian yang buruk, mengurangi cinta kepada harta benda, istri dan anak, melepaskan hasrat memburu nama, kedudukan kemuliaan, pangkat dan sebab-sebab yang lain, yang membuat manusia itu mencintai dunia terlalu banyak untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan dengan ajaran pula orang Sufi ingin mengisi jiwa manusia yang sudah dibersihkan itu dengan sifat-sifat yang baik, yang dapat memajukan serta menyuburkan persaudaraan dan perdamaian di antara manusia. Maka lahirlah terhadap perbaikan manusia di dunia, dua istilah Sufi, yaitu takhalli, mengosongkan jiwa manusia daripada sifat-sifat yang tercela, yang digerakkan oleh hawa nafsu, dan tahalli, mengisi kembali jiwa manusia yang sudah bersih itu dengan sifat-sifat yang terpuji, yang terutama digerakkan oleh akal dan ilmunya, sehingga dengan demikian terciptalah manusia baru yang indah dan sempurna, jamal dan kamal, untuk masyarakat damai, yang penuh dengan rasa persaudaraan dan cinta mencintai.

Tetapi perbaikan ini baru lahir, apabila dasar keyakinan terhadap Tuhan sudah kuat dalam diri manusia, karena hanya keyakinan terhadap Tuhan itulah yang dapat menentang hawa nafsu atau syahwat manusia dengan sebenar-benarnya. Apabila kepercayaan kepada Tuhan itu sudah tebal, lahirlah cinta, lahirlah tha'at dan patuh, lahirlah takut, yang dapat mengontrol dan mengawasi segala amal perbuatan, lahirlah kecintaan terhadap sesama manusia, karena Tuhan sebagai pengawas seluruh kehidupan dan gerak-geriknya, selalu teringat dan nyata dengan jelas, tajalli, dalam zihin dan kehidupan jiwanya. Tak dapat tidak manusia semacam itu akan melakukan segala amal ibadahnya dengan ikhlas, berbuat baik terhadap sesama manusia dengan ikhlas, bergaul dengan ikhlas, bekerja dengan ikhlas, berderma dengan ikhlas, melayani masyarakat dan negara dengan ikhlas, mencintai anak isterinya dengan ikhlas, pendeknya seluruh hidupnya ditunjukkan kepada keikhlasan dan kerelaan Tuhan semata-mata. Akhirnya manusia itu akan menjadi manusia yang tidak thama', manusia yang tidak serakah dari mengutamakan dirinya sendiri, tetapi akan menjadi manusia yang wara', manusia yang ikhlas dalam ibadat dan damai dalam perbuatan.

Itulah tujuan Sufi dalam pendidikan budipekerti manusia, akan membawa manusia itu kepada hidup wara', tidak kepada hidup tamak.

Diceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib, kemenakan Nabi Muhammad dan Khalifah yang ke empat, pada suatu hari sebagai kepala pemerintahan Islam datang mengunjungi mesjid besar Basrah. Banyak diusirnya orang-orang yang bercerita tidak karuan di dalam mesjid itu, karena dianggapnya berdongeng dalam mesjid itu perbuatan bid'ah. Tetapi tiba-tiba ia berdiri dekat satu golongan yang sedang mendengar dengan penuh perhatian kepada cerita seorang anak muda, yang bernama Hasan. Lalu ia berkata kepada anak itu : ”Jika kamu dapat menjawab kedua soal ini, aku akan membiarkan engkau berbicara kepada kumpulan orang-orang itu, tetapi jika engkau tidak memberikan jawaban yang benar, aku akan mengeluarkan engkau dari dalam mesjid ini sebagai mengeluarkan teman-temanmu". Maka kata anak itu "Bertanyalah, ya Amirul Mukminin!" Lalu berkata Ali : "coba ceritakan kepadaku, apakah yang akan menyelamatkan agama atau peraturan, dan apakah yang dapat merusakkan?" Maka anak itu pun menjawab: "Yang dapat menyelamatkannya itu adalah wara', dan yang membinasakannya adalah tamak". Ali bin Abi Thalib berkata: "Benar sungguh katamu itu. Orang yang semacam engkau layak berbicara terhadap orang banyak!"

Anak itu tidak lain daripada Hasan Basri, salah seorang tokoh Sufi yang terkemuka, salah seorang yang sejak kecil sudah mengupas penyakit-penyakit jiwa manusia dan cara memperbaikinya.

Seorang demi seorang tokoh Sufi itu timbul sejak abad kedua dan ketiga Hijrah, akhirnya merupakan suatu gerakan yang mendapat perhatian masyarakat Islam. Bermacam-macam cara mereka bekerja, berfikir dan mengeluarkan ucapan-ucapannya, tetapi bersatu dalam tujuannya, yaitu meresapkan rasa ketuhanan dan menciptakan manusia yang ikhlas. Memang ada di antara aliran Sufi yang terlalu tetapi tidak kurang pula ada yang ingin menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan perbuatan Nabi serta sahabat-sahabatnya, yang mereka anggap sumber teladan bagi manusia, yang ingin melihat suatu pergaulan masyarakat yang gilang gemilang, yang pernah diciptakan oleh Islam pada hari-hari permulaannya.

Tentang perkataan Sufi, Dr. Zaki Mubarak dalam kitabnya membentangkan panjang lebar sejarah dan asal perkataan itu yang saya anggap tidak seluruhnya penting untuk dimasukkan ke dalam masalah yang sederhana ini. Di antaranya ia berkata, bahwa perkataan itu mungkin berasal dari sufah yang sudah dikenal sebelum Islam sebagai gelar dari seorang anak Arab yang salih yang selalu mengasingkan diri dekat Ka'bah guna mendekati Tuhannya, Khaus bin Murr, mungkin berasal dari perkataan sufah yang dipergunakan untuk nama surat ijazah orang naik haji, mungkin juga dari perkataan safa yang berarti bersih dan suci, mungkin berasal dari sophia, perkataan Yunani yang berarti hikmah atau filsafat, mungkin berasal dari suffah, nama suatu ruang dekat mesjid Madinah tempat Nabi memberikan pengajaran-pengajarannya kepada sahabat-sahabatnya, seperti Abu Zar dan lain-lain, dan mungkin pula dari suf yang berarti bulu kambing yang biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang Sufi yang berasal dari Syria.

Pengertian yang terakhir ini banyak disebut dalam kehidupan orang-orang Sufi Masehi dan Yahudi, yang menurut cerita menjadi kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal dari kulit dan bulu domba itu. Bahwa kebiasaan memakai pakaian bulu domba itu berasal daripada kehidupan batin orang-orang Nasrani diakui oleh banyak pengarang-pengarang baru dalam kalangan Islam, di antaranya berasal daripada sebuah cerita dari Ibn Qutaibah, yang berbunyi demikian, ”Diceritakan kepada saya, bahwa pada suatu hari Isa as. keluar menemui sahabat-sahabatnya. Ia memakai selembar jubah yang terbuat daripada bulu domba, bercelana pendek, bercukur rambut dan janggutnya, menangis tersedu-sedu, dengan warna mukanya yang pucat karena kelaparan, bibirnya yang kering karena dahaga, berbulu dada lengan dan betis yang lebat, sambil berkata : "Assalamu'alaikum wahai Bani Israil! Aku ini didatangkan untuk mendudukkan dunia pada tempatnya. Aku tidak angkuh dan sombong. Apakah engkau tahu, di mana rumahku!" Maka sahabat-sahabat itupun bertanya: "Di mana rumahmu, ya Ruhullah?" Isa menjawab: "Rumahku semua mesjid dan tempat ibadat. Minumanku air, lauk paukku lapar, kendaraanku kaki sendiri, lampuku pada malam hari ialah bulan, selimutku pada musim sejuk ialah cahaya matahari, makananku tumbuh-tumbuhan bumi, buah-buahanku, lalapan apa yang dihasilkan bumi, pakaianku bulu domba atau suf, perlambangku takut, temanku bercengkrama orang-orang yang menderita kusta dan miskin, aku bangun pagi-pagi tidak mempunyai apa-apa, menjelang sore tidak mempunyai apa-apa, tetapi tubuhku sehat, jiwaku segar, aku merasa diriku seorang kaya raya, apa adakah orang yang lebih kaya dan beruntung daripada aku ini?"

"At-Tasawwuful Islami fil Adab wal Akhlaq" (Mesir, 1937).

Cerita ini menerangkan bahwa memakai suf atau bulu domba menjadi kebiasaan orang-orang suci Kristen sejak dari Isa as. Memang Abu Sirin menceritakan, bahwa Nabi Isa memakai pakaian bulu domba, sedang Nabi Muhammad menyukai yang ditenun dari kapas.

Kemudian banyak orang-orang Sufi yang beragama Islam mengambil kebiasaan memakai baju bulu domba itu, yang sebenarnya berasal dari kehidupan rohani orang Kristen. Maka terjadilah seakan-akan pakaian bulu domba itu perlambang daripada orang Sufi, sehingga kehidupan dan ajaran-ajarannya dinamakan tasawwuf. Pakaian yang mula-mula menunjukkan kesederhanaan pemakaiannya, lama-lama menjadi pakaian yang diadatkan dalam kehidupan Sufi, konon untuk mencegah ria dan menunjukkan kezuhudan pemakaiannya. Orang-orang Sufi memakai pakaian itu atau kalau tidak mendapatkannya, menggantikannya dengan pakaian lain yang bertambal, karena konon ingin meniru Nabi yang diceritakan pernah memakai pakaian yang bertambal.

Dengan demikian terjadilah pembicaraan yang berpanjang-panjang tentang memakai suf ini. Safi'i menceritakan bahwa suf itu adalah pakaian khusus buat orang Sufi, dipakai orang sejak dari ulama-ulama salaf, untuk menghilangkan takabur dan ria', mendekatkan diri kepada kesederhanaan, tawadlu' dan zuhud, bahwa suf itu adalah pakaian Nabi-Nabi, bahwa suf itu pernah dipakai oleh Nabi Muhammad tatkala ia menaiki keledainya. Bahkan dikemukakan, bahwa Nabi Muhammad pernah menceritakan: "Tatkala Nabi Musa pada suatu hari berbicara dengan Tuhan, ia memakai jubah suf, celana suf". Dan diceritakan, tatkala Hasan Basri menemui orang-orang Sufi, artinya orang yang pakai baju bulu domba, tetapi beberapa hadits dari Nabi Muhammad yang konon menganjurkan memakai baju suf agar dapat menghilangkan takabur, memasuki alam malakut. Begitu juga dihubungkan pakaian suf ini dengan pakaian wali-wali dan orang-orang salih. Ibrahim bin Adham pernah menyesali dirinya dalam suatu pekerjaan berburu sebagai anak raja dan memakai baju suf. Umar bin Khattab menceritakan bahwa Nabi memakai baju suf.

Sebaliknya banyak ulama-ulama juga yang tidak melihat tanda khusu' atau merendahkan diri dalam pakaian bulu domba itu. Junaid pernah menceritakan bahwa kadang-kadang terdapat orang Sufi, artinya orang yang pakai baju bulu domba, tetapi batinnya rusak. Oleh karena itu pernah Ma'ruf Al-Karakhi tatkala menemui Abu Hasan bin Basyar yang memakai baju jubah suf, berkata : "Sufikah hatimu atau dirimu yang lahir.

Maka banyaklah ulama-ulama zahir dari golongan Islam yang mengecam pakaian ini, di antaranya ada yang melihat bahwa pakaian itu bid'ah. Sufian Sauri pernah menegur seorang berbaju demikian dengan perkataan : "Pakaianmu ini bid'ah". Baik Jahid maupun pengarang-pengarang Risalah Ikhwanus Safa menerangkan bahwa sebenarnya pakaian suf atau bulu domba itu adalah pakaian-pakaian rahib Kristen pada waktu mereka melakukan ibadat atau upacara agamanya.

Bagaimanapun juga sejarah perkataan ini, akhirnya ia menjadi nama bagi golongan yang mementingkan kebersihan hidup batin, baik bagi orang-orangnya yang dinamakan orang-orang Sufi, maupun bagi nama ilmunya yang disebut Tasawuf.

🙏