Basmalah



”Dengan menyebut nama Allรขh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
ADAB MURID TERHADAP DIRINYA SENDIRI.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Adab-adab murid yang harus diperhatikan untuk dirinya sendiri dalam kehidupan tarekat banyak sekali. Tetapi yang terpenting dan yang paling utama ialah bahwa ia meyakini Allah Ta'ala itu senantiasa melihat kepadanya dan mengawasi dia dalam segala tingkah lakunya dan dalam segala keadaan. Oleh karena itu hendaklah ia selalu ingat kepadanya, baik sedang berjalan, baik sedang duduk, atau sedang sibuk dengan salah satu pekerjaan, karena semua itu tidak dapat mencegah dia daripada dzikir dan ingat kepada Tuhannya, bahkan demikian rupa sehingga nama Tuhan itu mengalir ke seluruh pojok dan liang-liang hatinya.

Lain daripada itu pertama, harus ia meninggalkan semua teman-teman yang jahat, dan mencari serta mempergauli orang-orang yang baik. Nabi Musa beroleh wahyu dari Tuhannya : ”Jangan kamu bergaul dengan ahli hawa, mereka akan memberi bekas kepada hatimu yang tidak layak”. Maka oleh karena itu bergaul dengan orang yang baik beroleh kebajikan, bergaul dengan orang yang jahat beroleh kejahatan. Seorang sufi bersyair:

  • Ruh laksana angin lalu, melalui athar menjadi wangi, baunya akan harum selalu, terpengaruh oleh minyak wangi.


  • Jika angin meniupi bangkai, bau berubah menjadi busuk, demikianlah ruh jika merangkai, berubah-ubah keluar masuk.

Di antara adab juga ialah menjauhkan anak isterinya pada waktu berzikir. Adab kedua ini sangat penting baginya, karena pada waktu ia berzikir haruslah seluruh perhatian jiwa dan hatinya ditujukan kepada Tuhan semata-mata, tidak boleh berpaling dan terganggu dengan suasana lain. Memilih tempat yang sempit dan gelap lebih baik daripada tempat yang luas dan terang, diterangi oleh cahaya matahari atau cahaya lampu pelita. Yang sama dengan cahaya lampu, pelita itu ialah anak isteri, yang gerak-gerik serta kelakuannya, perkataannya dan senda guraunya, dapat menggangu dia dalam perjalanannya, dan melemahkan hatinya yang zikir.

Ketiga hendaklah meninggalkan segala kesenangan hidup yang berlimpah-limpah, mengambil sekedar apa yang perlu dari makanan, minuman, pakaian dan hubungan suami-istri. Ghazali berkata: ”Tuhan menjadikan makanan dan minuman di dunia ini sebab untuk mengusutkan hati, untuk memberatkan semua anggota badan mengerjakan ta'at, dan menulikan telinga dari mendengar pelajaran-pelajaran yang baik.”

Keempat bahwa ia meninggalkan cinta, dan selalu melihat serta memikirkan akhirat, karena cinta kepada Allah itu tidaklah dapat ke dalam hati seseorang yang mencintai dirinya.

Kelima jangan ia tidur dalam keadaan jinabah, selalu bersih, bahkan lebih baik ia tidur dalam wudhu.

Keenam dan ketujuh jangan ia menghendaki apa yang ada pada orang lain, dan apabila ia kekurangan rezeki, hendaklah ia sabar, dan berkeyakinan bahwa dalam perjalanan menemui Tuhannya ia tidak membutuhi kekayaan dan kesenangan dunia.

Kedelapan selalu ia perhitungkan kebaikan dan keburukan dirinya, senantiasa bersungguh-sungguh dalam tarekatnya, jika ia menjumpai kesukaran dan kekurangan, ia berkata kepada dirinya: ”Hendaklah engkau sabar, kegembiraan itu ada di depanmu. Memang aku menghendaki keletihanmu untuk kesenanganmu nanti di akhirat.”

Kesembilan hendaklah ia nenyedikitkan tidurnya, terutama pada waktu sahur dan berdo'a serta beramal sebanyak-banyaknya, karena waktu itu adalah waktu mustajab.

Kesepuluh dan kesebelas membiasakan dirinya makan yang halal, dan membiasakan dirinya makan sedikit, berusaha mengangkat tangannya sebelum kenyang, karena yang demikian itu membuahkan kesungguhan dalam mengerjakan ta'at, dan menghilangkan malas.

Kedua belas dan ketiga belas, memelihara lidah dan matanya. Hendaklah dijaga agar lidahnya tidak mengucapkan omong kosong, sambil mengawasi hatinya jangan dalam syak wasangka. Barang siapa yang dapat memelihara lidahnya dan menetapkan hatinya, akan terbukalah baginya rahasia-rahasia yang pelik. Sesudah itu ia harus menjaga matanya dari pada melihat yang cantik-cantik, karena melihat yang cantik dan molek itu seperti racun yang dapat membunuh atau laksana anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, dapat mengenai dan membunuh hatinya. Demikianlah keadaan manusia yang memandang sesuatu dengan keinginan syahwatnya. Junaid berkata, bahwa kegagalan yang acapkali menimpa seseorang murid ialah selalu banyak bicara, terlalu banyak bergaul dengan perempuan, oleh karena itu hendaklah murid selalu bergaul dengan orang-orang baik, Murad, murid-murid yang terpilih, terutama dalam khalwatnya.

Keempat belas, jangan suka bersenda gurau, karena yang demikian itu dapat mematikan hati dan jiwa, dan mengakibatkan kegelapan. Jikalau seorang salik mengetahui betapa kemunduran ikhwalnya karena senda gurau, tentu ia tidak akan mengerjakan yang demikian itu sekali lagi. Nabi berpesan: ”Jangan engkau mengganggu dan memperolok-olokan saudaramu!” Maka oleh karena itu baiklah ditinggalkan senda gurau itu, kecuali pada waktu-waktu yang diperlukan ketika bingung dan ketika bersedih hati.

Kelima belas, meninggalkan tanya menanya dan perdebatan, apalagi pertengkaran tentang sesuatu pembahasan ilmu, karena yang demikian itu acapkali membawa manusia kepada kealpaan dan kekeruhan. Jikalau sesuatu perdebatan sudah terjadi, maka segera meminta ampun kepada Allah, dan meminta diri kepada mereka yang ingin melakukan perdebatan atau melanjutkan pembahasan itu. Cegahlah perdebatan tentang diri orang lain.

Keenam belas, bersedia diri mendangi dan mempergauli orang-orang yang sedang bingung dan sempit pikirnya, dan mencoba membicarakan adab-adab yang baik yang dapat membukakan jiwanya yang sedang sempit itu.

Ketujuh belas, mencintai kedudukan dan pengaruh, kebesaran dan kemegahan dapat memutuskan jalan kepada kebenaran.

Kedelapan belas, murid-murid hendaklah tawadhu', kesembilan belas hendaklah ia selalu takut kepada Tuhan, sambil meminta ampun, terhadap dosa yang tidak kelihatan, dalam ibadahnya maupun dalam dzikirnya.

Kedua puluh tidak menerangkan kepada seseorangpun apa yang dilihatnya dalam mimpi atau dalam jiwanya daripada rahasia-rahasia yang diperlihatkan Tuhan kepadanya, kecuali kepada gurunya sendiri.

Kedua puluh satu hendaklah ia menjaga waktu yang tetap untuk dzikir kepada Tuhannya, dengan cara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syeikhnya, tidak ditambah tidak dikurangi. Memang banyak sekali adab-adab murid-murid terhadap dirinya, yang kita tidak ingin menceritakannya semua di sini berhubung dengan halaman-halaman yang terbatas. Murid itu sendiri hendaklah mencari kelebihan-kelebihan dirinya dalam uraian yang lebih panjang. Tetapi meskipun demikian kita tidak dapat meninggalkan beberapa hal yang yang acapkali terdapat pada murid sufi itu, seperti adab pada waktu mereka menziarahi kuburan-kuburan orang orang keramat dan wali-wali.

Dalam kitab-kitab Sufi diterangkan bahwa seorang murid hendaknya sering mengunjungi kuburan wali-wali itu untuk mendapat berkah dan mengenangkan dia pada mati. Apabila ia mengunjungi kuburan orang keramat itu, dan jiwa kerohaniannya melimpah padanya, maka hendaklah memperhatikan beberapa adab, ia memberi salam kepada yang meninggal itu, ia berdiri di sebelah kakinya pihak kanan, ia menghadap kiblat, ia meletakkan tangan kanan ke atas tangan kirinya di pusatnya, dan dengan membungkuk sedikit ia membaca Fatihah satu kali surat Ikhlas sebelas kali, ayat kursi satu kali, yang semua pahalanya diniatkan untuk orang yang sudah wafat itu, baik gurunya maupun orang alim lainnya. Kemudian perlahan-lahan ia duduk dekat kubur itu dan melepaskan semua pikiran yang mengikat dia selain daripada menujukan kepada orang mati itu, ia bersabar, ia menggambarkan cahaya rohani dari orang yang mati itu, seakan-akan dapat dirasakan dan dipindahkan ke dalam hatinya, di kenangkan seluruh hal ihwal khawas yang ada pada orang itu.

Dalam kitab”Tanwirul Qulub” dijelaskan bahwa orang umum diperkenankan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan dan tabut pada kuburan wali, jika mereka menghendaki tabaruk dan mengi'tikadkan bahwa yang memberi bekas dalam hakikat yang sebenarnya hanya Allah, mereka memperbuat sesuatu hanya karena cinta kepada orang yang dicintai Allah.

๐Ÿ™

Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya. Imam Ibnu Sirin berkata, “Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami’).


Sumber: Dari buku Pengantar Ilmu Tarekat
Oleh: Prof. Dr. H. Abubakar Aceh.
ADAB MURID TERHADAP GURUNYA.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.



Adab-adab murid yang harus diperhatikan terhadap gurunya sebenarnya banyak sekali, tetapi yang terutama dan yang terpenting ialah bahwa seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya, sebaliknya harus membesarkan kedudukan gurunya itu lahir dan batin. Ia tidak boleh meremehkan, apalagi mencemoohkan, mengecam gurunya di depan dan di belakang. Salah satu yang harus diyakini ialah bahwa maksudnya itu hanya akan tercapai karena didikan dan asuhan gurunya, dan oleh karena itu jika pandangannya terpengaruh oleh pendapat guru-guru lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia daripada mursyidnya, dan akan tidaklah terlimpah atas percikan cahaya. Maka harus ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal yang tersebut di bawah ini.

1. Pertama-tama ia harus menyerah diri sebulat-bulat dengan sepenuh-penuhnya kepada gurunya, rela ia dengan segala apa yang diperbuat oleh gurunya itu, yang dikhidmati dengan harta benda dan jiwa raganya, dengan jalan demikian barulah terlahir iradah yang murni dan muhibbah, yang akan merupakan penggerak dalam usahanya, merupakan kebenaran dan keikhlasan yang tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan demikian.

2. Tidak boleh sekali-kali seorang murid menentang atau menolak apa yang dikerjakan gurunya, meskipun pekerjaan itu pada lahirnya kelihatan termasuk haram.*) Ia tidak boleh bertanya, apa sebab gurunya berbuat demikian, tidak boleh terguris dalam hatinya, mengapa pekerjaannya belum jaya. Barang siapa yang ingin beroleh ajaran gurunya dengan sempurna, ia tidak menolak sesuatu apapun juga daripadanya. Dari seorang guru kadang-kadang kelihatan lukisan yang tercela pada lahirnya, tetapi kemudian kelihatan terpuji dalam batinnya, seperti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khidir. Oleh karena itu salah seorang sufi melukiskan kewajiban murid terhadap Syeikhnya dalam suatu sajak sebagai berikut:

  • Engkau laksana mayat terlentang, di depan gurumu terletak membentang, dicuci dibalik laksana batang, janganlah engkau berani menentang.


  • Perintahnya jangan engkau elakkan, meskipun haram seakan-akan, tunduk dan tha'at diperintahkan, engkau pasti ia cintakan.


  • Biarkan semua perbuatannya, meskipun berlainan dengan syara'nya, kegelapan hati akan nyatanya, bagimu akan jelas rahasianya.


  • Ingatlah cerita Khaidir dan Musa, tentang pembunuhan anak desa, Musa seakan putus asa, pada akhirnya ia terasa.


  • Pada akhirnya jelaslah sudah, tempat padanya secara mudah, kekuasaan Allah tidak tertadah, ilmunya luas tidak termadah.

Demikian kira-kira isi syair sufi mengenai ilmu Tuhan yang mengatasi akal manusia, diilhamkan kepada siapa yang dikehendakinya, kita petik dari kitab ”Tanwirul Qulub” karangan Muhammad Amin Al Kurdi An-Naqsyabandi, yang sudah kita sebutkan di atas itu.

3. Seorang murid tidak boleh mempunyai maksud berkumpul dengan Syeikhnya untuk tujuan dunia dan akhirat, dengan tidak menegaskan dan menandaskan kehendak kesatuan yang sebenar-benarnya, baik mengenai ihwal, maqam, fana, maupun baqa' dalam keesaan Tuhan, karena jika tidak demikian itu maka ia merupakan seorang murid yang hanya menuntut kesempurnaan dirinya dan ihwalnya sendiri.

4. Seorang murid tidak boleh melepaskan ikhtiarnya sendiri dari ikhtiar Syeikhnya dalam segala pekerjaan, baik merupakan keseluruhan atau bahagian-bahagian ibadat adat kebiasaan. Setengah daripada tanda seorang murid yang benar, bahwa ia begitu tha'at kepada Syeikhnya, sehingga kalau Syeikhnya memerintahkan ia masuk ke dalam nyala api, ia mesti memasukinya, jikalau ia masuk tidak terbakar benarlah ia, jika terbakar pasti ia dusta.

5. Murid tidak boleh mempergunjingkan sekali-kali keadaan Syeikhnya, karena yang demikian itu merupakan pokok kebinasaan, yang biasanya banyak terjadi. Sebaliknya ia harus membaik sangka kepada gurunya dalam tiap keadaan.

6. Begitu juga murid itu memelihara Syeikhnya pada waktu ia tidak ada, sebagaimana ia memelihara guru itu pada waktu ia hadir bersama-sama, dengan demikian selalu ia mengingat Syeikhnya itu pada tiap keadaan, baik dalam perjalanan maupun tidak dalam perjalanan, agar ia beroleh berkatnya.

7. Seorang murid menganggap tiap berkat yang diperolehnya, baik berkat dunia maupun berkat akhirat, disebabkan oleh berkat Syeikhnya itu.

8. Ia tidak boleh menyembunyikan kepada gurunya sesuatu yang terjadi pada dirinya sendiri, mengenai ihwal, kekhawatiran, kejadian-kejadian yang tertimpa atas dirinya, segala macam kasyaf dan keramat, yang dianugerahi Allah sewaktu-waktu kepadanya, semuanya itu diceritakan dengan terus terang kepada gurunya itu.

9.meskipun demikian tidaklah boleh seorang murid menafsirkan sendiri segala kejadian itu, segala mimpinya dan segala kasyaf yang terbuka kepadanya, apalagi memegangnya dengan keyakinan, sebaliknya ia menerangkan semua kepada Syeikhnya itu sambil menanti jawabnya dengan tidak usah menagih jawab itu secara mendesak. Jika ada seorang Syeikh lain bertanya kepada seorang murid tentang sesuatu masalah, janganlah menjawab dengan segera masalah itu di depan gurunya.

10. Ia tidak boleh menyiarkan rahasia-rahasia gurunya, atau mengadakan siaran-siaran yang lain tentang gurunya itu.

11. Ia tidak boleh mengawini seorang wanita yang kelihatan disukai oleh Syeikhnya hendak dinikahinya, begitu juga ia tidak boleh kawin dengan dengan seorang perempuan bekas isteri gurunya, baik yang ditinggalkan cerai atau ditinggalkan mati.

12. Seorang murid tidak boleh hanya mengeluarkan nasehat atau pandangan kepada gurunya mempercakapkan sesuatu pekerjaan yang hendak dikerjakan, begitu juga ia tidak boleh meninggalkan pekerjaan yang sedang dihadapi gurunya. Sebaliknya ia menyerahkan seluruh pikiran kepada gurunya dan menganggap bahwa gurunya itu meminta nasehat kepadanya hanya ditimbulkan kecintaan semata-mata.

14. Apabila seorang murid memandang dirinya dengan penuh ujub karena amalan-amalannya, atau memandang telah meningkat lebih baik dari ihwalnya, maka segera hal itu diadukannya kepada gurunya, agar guru memberikan petunjuk, bagaimana mengobati penyakitnya itu, jika didiamkan perasaan itu nanti pasti akan tumbuh menjadi ria dan munafik dalam hatinya.

15. Murid tidak boleh memberikan atau menjual kepada orang lain apa yang dihadiahkan oleh gurunya, meskipun gurunya itu mengizinkan menyerahkan pemberiannya itu kepada orang lain, karena didalam pemberian guru itu tersembunyi air kefakiran yang dicari-cari dan yang mendekatkan dia kepada Allah.

16. Di antara adab-adab murid juga di dalam tarekat yang di anggap ihwalnya terbaik ialah, bahwa ia memberikan harta bendanya sebagai sedekah atas permintaan Syeikhnya, karena menurut ajaran, bahwa seorang murid dianggap sudah sempurna tha'at kepada Syeikhnya, yang kemudian dapat membawa dia kepada Tuhannya, jika ia berbuat yang demikian itu, dengan lain perkataan mengurbankan untuk sedekah apa yang dicintainya.

17. Murid yang baik tidaklah menganggap ada sesuatu kekurangan pada Syeikhnya, meskipun ia melihat kekurangan itu terjadi dalam kehidupannya, seperti banyak tidur pada malam hari, kurang war'a dll. karena kekurangan-kekurangan yang demikian itu memang ditakdirkan Allah kepada wali-wali Nya dalam kelupaan dan kealpaan, yang tidak terdapat tatkala mereka sadar, dan apabila sadar sekalian itu akan dipenuhi kembali.

18. Harus diingat bahwa murid itu tidak boleh memperbanyak bicara di depan Syeikhnya, harus ia ketahui waktu-waktu berbicara itu. Jika ia berbicara hendaklah dengan tegas, dengan adab, dengan khusuk, dengan khuduk, dengan tidak berlebihan dari apa yang perlu. Kemudian ia menanti jawabnya dengan tenang, jika jika belum puas hanya ia bertanya kedua kalinya, sesudah itu terbataslah pertanyaan itu.

19. Tidak boleh sekali-kali di hadapan guru seorang murid berbicara keras, karena bicara keras itu di hadapan orang-orang besar termasuk laku yang tidak baik. Sebaliknya, ke 20, ia tidak boleh duduk bersimpuh di depannya, tidak boleh duduk di atas sajadah, tetapi memilih tempat yang dapat menunjukkan laku merendah diri dan mengecilkan dirinya, seterusnya ia berkhidmat kepada Syeikhnya. Kata Sufi: ”Khidmat pada sesuatu bangsa merupakan amal shaleh”. Ke 21, cepat kaki ringan tangan mengenai segala apa yang diperintahkan oleh gurunya, tidak istirahat dan berhenti, sebelum pekerjaan itu selesai.

Lain daripada yang tersebut di atas seorang murid harus mengingat, bahwa ia menjauhkan diri daripada segala pekerjaan yang dibenci oleh Syeikhnya (22), tidak boleh bergaul orang yang dibenci oleh Syeikhnya, tetapi mencintai orang yang dicintainya (23). Ia harus sabar jika Syeikhnya belum memenuhi permintaannya, dan tidak boleh menggerutu dan memperbanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dalam pelayanan Syeikhnya. (24), tidak boleh duduk pada tempat yang disediakan bagi gurunya, tidak boleh enggan dan segan-segan terhadap segala pekerjaan, tidak boleh bepergian, tidak boleh kawin, tidak boleh mengerjakan sesuatu pekerjaan penting kecuali dengan izinnya (25), tidak boleh menyampaikan kepada orang lain pekerjaan Syeikhnya kecuali yang dapat dipahami mereka itu sekedar kekuatan akalnya (26), dan tidak menyampaikan salamnya melalui orang lain kepada Syeikhnya, tetapi kalau ada kesempatan menziarahinya sendiri (27)

Ada kalanya Guru Mursyid memberi kebebasan pada murid, jika sudah kelihatan tanda kesungguhan murid. Guru Mursyid memberi ujian-ujian semakin berat, kadang kelihatan tidak memperhatikan, itu semua agar Nafsunya murid menjadi kalah dan bisa tenggelam kedalam Maqom Fana'. (Hanya Cinta Kepada Allah SWT).

๐Ÿ™ ๐Ÿ™๐Ÿ™



Sumber: Dari buku Pengantar Ilmu Tarekat
Oleh: Prof.Dr.H. Abubakar Aceh.
MURID ATAU MURAD.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.




Pengikut sesuatu tarekat dinamakan Murid, yaitu orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam segala amal ibadahnya. Murid-murid itu terdiri daripada laki-laki dan perempuan, baik masih belum dewasa maupun sudah lanjut umurnya. Murid-murid itu tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan segala sesuatu yang dilatihkan guru kepadanya, yang berasal daripada ajaran-ajaran sesuatu tarekat, tetapi harus patuh kepada beberapa adab dan akhlak, yang ditentukan untuknya baik terhadap syeikhnya, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap dirinya sendiri dan saudara-saudaranya setarekat serta orang-orang Islam yang lain. Segala sesuatu yang bertali dengan itu diperhatikan sungguh-sungguh oleh mursyid sesuatu tarekat, karena kepada kepribadian murid-muridnya itulah bergantung yang terutama berhasil atau tidaknya perjalanan suluk tarekat yang ditempuhnya. Pelajaran-pelajaran sufi dan latihan-latihan tarekat akan kurang faedahnya. Jika pelajaran dan latihan itu tidak berbekas kepada perubahan akhlak dan budi pekerti murid-murid itu.

Yang dimaksud dengan murid adalah individu yang telah melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, yang sepenuhnya berserah kepada kehendak sang Mahakuasa sang Mahamutlak yang di tangan-Nya tergenggam kendali segala sesuatu, dari atom sampai galaksi.

Adapun yang dimaksud dengan murad adalah jiwa bahagia yang telah bergerak hanya dengan apa yang diinginkan oleh Allah SWT. dan tertutup sama sekali dari yang selain Dia, sehingga sang hamba tidak lagi memiliki keinginan atau pun hasrat selain ridha Allah SWT. Demikianlah ia menjadi sosok yang diingini dan menjadi perhatian Allah SWT.

Ya, di awal perjalanan sesungguhnya seorang salik adalah murid, sementara di akhir perjalanan ia menjadi murad. Salik adalah murid dalam usahanya untuk memiliki karakter ubudiyahnya, tapi ia menjadi murรขd ketika sudah berhasil membentuk hubungannya dengan Allah sebagai sebuah kondisi yang tidak terpisah lagi dari fitrahnya. Salik adalah murid di tengah pencariannya terhadap jalan cinta dan raja`, tapi ia menjadi murรขd setelah ia mampu melihat jejak Allah SWT. dalam segala sesuatu. Pada saat itulah seorang salik mengenakan pakaian indah yang terbuat dari "cita-rasa spiritual" (al-dzauq al-rรปhรขniy) sembari mereguk piala makrifat dan mahabah.

Allah SWT berfirman:

ูŠٰุۤงَูŠُّู‡َุง ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุงٰู…َู†ُูˆْุۤง ุงِุฐَุง ู‚ِูŠْู„َ ู„َู€ูƒُู…ْ ุชَูَุณَّุญُูˆْุง ูِู‰ ุงู„ْู…َุฌٰู„ِุณِ ูَุงูْุณَุญُูˆْุง ูŠَูْุณَุญِ ุงู„ู„ّٰู‡ُ ู„َู€ูƒُู…ْ ۚ ูˆَุงِุฐَุง ู‚ِูŠْู„َ ุงู†ْุดُุฒُูˆْุง ูَุงู†ْุดُุฒُูˆْุง ูŠَุฑْูَุนِ ุงู„ู„ّٰู‡ُ ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุงٰู…َู†ُูˆْุง ู…ِู†ْูƒُู…ْ ۙ ูˆَุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุงُูˆْุชُูˆุง ุงู„ْุนِู„ْู…َ ุฏَุฑَุฌٰุชٍ ۗ ูˆَุงู„ู„ّٰู‡ُ ุจِู…َุง ุชَุนْู…َู„ُูˆْู†َ ุฎَุจِูŠْุฑٌ.

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah 58: Ayat 11)

๐Ÿ™

Nabi Muhammad saw. bersabda: ”Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”(HR. Muslim)





SYEIKH ATAU GURU.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Syeikh atau guru mempunyai kedudukan yang penting dalam tarekat. Ia tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang daripada ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke dalam maksiat berbuat dosa besar atau dosa kecil, yang segera harus ditegurnya, tetapi ia merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukan dalam tarekat itu. Ia merupakan perantaraan dalam ibadat antara murid dan Tuhan. Demikian keyakinan yang terdapat dalam kalangan ahli-ahli tarekat itu.

Oleh karena itu jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh sembarang orang, meskipun ia mempunyai lengkap pengetahuannya tentang sesuatu tarekat, tetapi yang terpenting adalah ia harus mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan bathin yang murni. Bermacam-macam nama yang tinggi diberikan kepadanya menurut kedudukannya, misalnya nussak, orang yang mengerjakan segala amal dan perintah agama, ubbad, orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadat, mursyid, orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya, imam, pemimpin tidak saja dalam segala ibadat tetapi dalam sesuatu aliran keyakinan, syeikh, kepala dari kumpulan tarekat, dan kadang-kadang dinamakan juga dengan nama kehormatan sadah yang artinya penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh.

Menurut kitab ”Tanwirul Qulub fi mu'amalatil ilmi ghuyub” (Mesir 1343 H) yang dikarang oleh seorang penganut tarekat Naqsyabandiyah, syeikh Muhammad Amin Al-Kurdi, dari mazhab Syafi'i, yang dinamakan Syeikh itu ialah orang yang sudah mencapai maqam rijalul kamal, seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syari'at dan hakikat menurut Qur'an, Sunnah dan ijma', dan yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid, yang sudah sampai kepada maqam yang tinggi itu, dari tingkat ke tingkat hingga kepada Nabi Muhammad Saw. dan kepada Allah Swt. dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji dan wasiat, dan memperoleh izin dan ijazah, untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk itu kepada orang lain. Jadi seorang syeikh yang diakui itu sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki tempat itu karena dorongan nafsu belaka. Maka Syeikh yang arif, yang mempunyai sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan seperti yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu tarekat, syeikh yang merupakan penghubung dan wasilah antara murid-muridnya dan Tuhannya, merupakan pintu yang harus dilalui murid menuju kepada Tuhannya itu. Seorang Syeikh yang belum pernah mempunyai mursyid, kata Al-Kurdi, maka mursyidnya itu ialah syetan, tidak boleh tampil ke muka dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada muridnya, irsyad, kecuali sesudah beroleh pendidikan yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari gurunya yang berhak dan mempunyai silsilah pendidikan yang benar. Berkata Imam Ar-Razi, bahwa seorang syeikh yang tidak berijazah, dalam pengajarannya akan lebih merusak daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena ia menceraikan murid-murid yang benar dengan pemimpin-pemimpin yang arif.

Dengan demikian seorang mursyid mempunyai tanggung jawab yang berat.

  1. Ia harus dan ahli dalam memberikan tuntunan-tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tauhid, dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala purba sangka dan keragu-raguan daripada murid-muridnya mengenai persoalan itu.

  2. Bahwa ia mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta memperbaikinya sebagai semula.

  3. Bahwa ia mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya. Apabila ia melihat, ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya sehingga belum dapat menghindarkan diri daripada kebiasaan-kebiasaannya yang tidak baik, maka ia bersabar, memperbanyak maaf dan mengulangi nasehat-nasehatnya dengan tidak bosan-bosan, tidak dengan segera memutuskan hubungan murid itu dalam tarekatnya. Segala kesalahan-kesalahan jangan sedikit jua pun mengalirkan akibat kepada kesukaran-kesukaran yang lain. Dengan penuh lemah lembut seorang mursyid selalu sedia memberikan petunjuk-petunjuk kepada murid-murid yang diasuhnya.

  4. Mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia murid-muridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata umum, tetapi sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana.

  5. Bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada kesempatan apa pun juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka.

  6. Bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan, dalam melakukan segala ibadat yang sunnat atau menjauhkan segala perbuatan yang makruh, pendeknya dalam segala keadaan ahwal dan dalam segala perasaan azwaq, dirinyalah yang menjadi ukuran lebih dahulu, dirinyalah yang menjadi contoh lebih dahulu, kemudian barulah disalurkan kepada perintah atau larangan kepada murid-muridnya. Jika tidak demikian kesanggupannya, hendaklah ia diam, jangan berbicara tentang keadaan jiwa dan usaha dengan murid-muridnya.

  7. Bahwa seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-sungguh, tidak terlalu banyak bergaul apalagi bercengkrama bersenda gurau dengan murid-muridnya. Ia hanya bergaul dengan murid-muridnya sekali sehari dan semalam, dalam melaksanakan zikir-zikir dan wirid-wirid, pada kesempatan mana ia menyampaikan beberapa petunjuk mengenai syari'at dan tarekat, mempergunakan kitab-kitab yang baik untuk tuntunan alirannya, sehingga dengan demikian ia dapat menghindarkan segala keragu-raguan, dan memimpin murid-muridnya itu beribadat kepada amalan-amalan yang sah.

  8. Ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pendapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu.

  9. Seorang mursyid yang bijaksana selalu berlapang dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seorang murid itu apa yang tidak sanggup, tidak memerintahkan sesuatu amal yang kelihatan kurang digemar atau disanggupinya. Ia selalu bermurah hati dalam mengajarkannya.

  10. Apabila ia melihat ada seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihatkan dia kebesaran dan ketinggian hatinya, maka segera ia memerintah murid pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan mursyidnya itu.

  11. Apabila ia melihat bahwa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena kepercayaan dan kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar baginya.

  12. Jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk memperbaiki hal mereka.

  13. Sesuatu yang harus mendapat perhatiannya yang penuh ialah kebanggaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyahadah yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia. Sebab apabila mursyid itu berbicara tentang hal-hal aneh tersebut, ditakuti akan terjadi sesuatu yang merusakkan bagi murid itu, karena memang gampang seseorang melihat dirinya meningkat, tetapi kadang-kadang hal yang tidak benar segera menjatuhkan martabatnya.

  14. Ia melarang murid-muridnya banyak berbicara dengan teman-temannya, kecuali dalam hal-hal yang penting, terutama harus dilarang murid-murid itu berbicara dengan teman-temannya tentang keramat dan wirid-wirid yang istimewa, karena jikalau ia membiarkan yang demikian itu lambat launnya murid itu rusak karena ia meningkat dalam takabur dan berbesar diri terhadap yang lain.

  15. Ia menyediakan tempat berkhalwat, bagi perseorangan murid-muridnya, yang tidak dibolehkan masuk seorangpun daripada anak-anaknya kecuali untuk keperluan khusus, begitu juga mursyid itu menyediakan sebuah tempat berkhalwat khusus untuk dirinya dengan sahabat-sahabatnya.

  16. Hendaklah dijaga, agar muridnya tidak melihat segala gerak-geriknya, tidak melihat tidurnya, tidak melihat cara makan dan minumnya, karena yang demikian itu sewaktu-waktu dapat mengurangi penghormatannya terhadap syeikh, dan mengetahui sampai dimana kesempurnaannya, lalu dibawa bercerita dan menggunjingkan hal itu untuk kemaslahatan sesama murid.

  17. Ia mencegah muridnya memperbanyak makan, karena banyak makan itu melambatkan tercapainya latihan-latihan yang diberikan mursyidnya itu. Kebanyakan manusia itu adalah budak bagi kepentingan perutnya.

  18. Melarang murid-muridnya berhubungan dengan Syeikh tarekat lain, karena acapkali yang demikian itu memberikan akibat yang kurang baik bagi muridnya. Tetapi apabila ia lihat kecintaan muridnya karena pergaulan itu tidak berkurang terhadap dirinya, dan tidak dikhawatirkan terguncang pendirian muridnya itu, maka yang demikian itu tidak mengapa.

  19. Ia melarang murid-muridnya pulang balik kepada raja-raja dan orang-orang besar dengan tidak ada keperluan yang tertentu, karena pergaulannya dapat membesarkan nafsu keduniaannya dan melupakan, bahwa ia sedang dididik berjalan ke akhirat.

  20. Mursyid itu selalu dalam khutbah-khutbahnya mempergunakan kata-kata dan cara-cara yang lemah-lemah yang dapat menawan hati dan fikiran, jangan sekali-kali khutbahnya itu kecaman dan ancaman, karena yang demikian itu dapat menjauhkan jiwa muridnya daripadanya.

  21. Apabila seorang mengundangnya, maka ia menerima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu juga dengan rasa merendahkan diri.

  22. Apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya, maka hendaklah ia duduk dengan tenang dan penuh sabar, jangan banyak menoleh ke kiri-kanan, jangan mengantuk atau tidur di tengah-tengah mereka itu, jangan melunjurkan kakinya di tengah-tengah pertemuan menutup matanya, merendahkan suaranya, menghindarkan segala sifat-sifat yang tercela, karena apa yang dilakukannya itu semuanya akan dituruti oleh murid-muridnya, yang dianggap sebagai kelakuan-kelakuan yang terpuji dan ditirunya.

  23. Bahwa ia harus menjaga pada waktu seseorang muridnya datang menemui dia jangan memalingkan mukanya, meskipun pada waktu itu ia hendak melihat atau menoleh ke arah lain. Ia memanggil muridnya itu meskipun ternyata tidak ada sesuatu yang akan ditanyakannya. Apabila ia datang kepada murid, hendaklah di jaga adab sopan santun dan tingkah lakunya dalam keadaan sebaik-baiknya.

  24. Hendaklah Ia suka bertanya tentang seseorang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia tidak hadir. Apabila ternyata murid itu sakit, segeralah ia menengok, apabila murid itu memerlukan sesuatu, segeralah ia berikhtiar menolongnya, dan apabila ia ternyata uzur, hendaklah ia menyuruh memanggil dan berkirim salam.

Imam Al Ghazali menyatakan, bahwa murid tak boleh tidak harus mempunyai syeikh (guru) yang memimpinnya. Sebab jalan iman adalah samar, sedang jalan-jalan iblis banyak yang terang. Dan siapa yang tak mempunyai Syeikh (guru) sebagai penunjuk jalan, ia pasti akan dituntun oleh iblis dalam perjalanannya. Karena itu murid harus berpegang kepada syeikhnya (gurunya), sebagaimana seorang buta dipinggir sungai berpegang kepada pemimpinnya, mempercayakan diri kepadanya, jangan menentang sedikit pun dan berjanji mengikutinya dengan mutlak. Murid harus tahu, bahwa keuntungan yang didapatinya karena kekeliruan syeikhnya, apabila ia bersalah, lebih besar daripada keuntungan yang diperolehnya dari kebenarannya sendiri, apabila ia benar. Demikianlah catatan Gibb dalam bukunya ”Lintasan sejarah Islam”, terjemahan dalam bahasa Indonesia.

๐Ÿ™






KEKELUARGAAN TAREKAT.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Pada waktu kita membicarakan ilmu tarekat, sudah kita singgung bahwa pengertian tentang tarekat itu, yang mula-mula tidak lain daripada suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi kekeluargaan, kumpulan, yang mengikat penganut-penganut sufi yang sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan daripada pemimpinnya dalam suatu ikatan, yang bernama tarekat.

Terutama dalam zaman kemajuan Baghdad dalam abad ke III dan ke IV hijrah, dalam, dalam masa kehidupan lebih banyak merupakan keduniaan daripada keagamaan, kelihatan benar pertumbuhan pengertian tarekat kedua ini. Dalam pada itu dari satu pihak kelihatan lunturnya iman dan tauhid, dari lain pihak timbulnya hidup kebendaan dan kemewahan, yang kedua-duanya menyuburkan kerusakan akhlak dan moral dalam kalangan kaum muslimin. Maka timbullah ulama-ulama, yang ingin hendak memperbaiki kerusakan jasmani dan rohani itu, ingin mengembalikan umat kepada kehidupan Islam yang sebenar-benarnya, seperti yang pernah terjadi dalam masa Nabi. Lalu mereka mengumpulkan pengikut-pengikutnya, mengajar melatih syari'at Islam, serta meresapkan ke dalam jiwa, jazb, rasa ketuhanan melalui jalan, thatiqah, yang kita namakan tarekat sekarang ini, dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam ayat-ayat Al Qur'an atau dalam hadits-hadits. Dengan demikian terjadilah tarekat itu semacam kumpulan amal, yang dipimpin oleh seorang guru, yang dinamakan mursyid, atau syeikh tarekat, wakilnya biasa dinamakan khalifah, beberapa banyak pengikutnya yang dinamakan murid dengan gedungnya tempat berlatih melakukan ibadat dan lain-lain yang bernama ribath dan zawiyah, kitab-kitab yang khusus dipergunakan untuk keperluan itu, baik mengenai ilmu fiqh maupun mengenai ilmu tasawwuf, yang sudah diberi bercorak sesuatu tarekat yang khusus, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula, perjanjian-perjanjian yang tertentu dari murid terhadap gurunya, yang biasa disebut bai'at, dlls. sehingga tarekat itu merupakan suatu kekeluargaan, ukhuwah, yang berbeda antara satu sama lain. Segala sesuatu yang terjadi dalam tarekat itu mempunyai corak yang tertentu. Sampai kepada cara bergaul dan cara berpakaian, cara melakukan ibadat, cara berdzikir dan berwirid, berbeda dengan yang lain. Suatu tarekat merupakan suatu persaudaraan, suatu kekeluargaan, yang tersendiri, seperti yang kita dapati kekeluargaan-kekeluargaan dalam dunia Katholik, yang dalam bahasa Belanda disebut mystieke broederchap. Sebagai perkumpulan tarekat itu, didirikan dan dipimpin oleh seorang bekas murid yang telah mendapat ijazah dari gurunya dengan silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad.

Cara pendidikan dalam bentuk kekeluargaan seperti ini lekas sekali meluas ke Persia, ke Mesir, ke seluruh jazirah Arab. Terutama di daerah Persia, daerah Hindi, dan daerah-daerah sekitarnya, istimewa dalam masa rakyat tidak begitu senang terhadap pemerintahan Umayyah Arab yang dianggap menjajah itu, tarekat-tarekat itu sangat lekas berkembang biak, bahkan merupakan kumpulan-kumpulan rahasia, di mana diajarkan secara halus dan secara tersirat dalam ucapan-ucapan sufi menentang kekuasaan raja-raja duniawi yang memerintah ketika itu.

Lain daripada itu ada sebab yang lain dari kalangan bangsa Arab sendiri, yang membesarkan dan menyokong pertentangan rakyat Persia terhadap pemerintah Umaiyyah. Kita ketahui dari sejarah Islam, bahwa persengketaan antara dua suku Quraisy terpenting, Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim sudah terjadi sejak zaman sebelum Islam. Kedua suku ini memang berbeda sekali dalam kehidupan, sifat dan pendidikannya. Suku Bani Hasyim, yang didalamnya termasuk Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib, berkuasa dalam soal-soal keagamaan, sedang Suku Bani Umayyah menguasai bidang politik ketatanegaraan dan perdagangan. Kekuasaan dunia sebenarnya hampir tidak berarti bagi Bani Hasyim terhadap Bani Umaiyyah yang kaya dan berpengaruh itu, meskipun pemerintahan berada dalam tangan Bani Abdul Muthalib atau Bani Hasyim. Barulah sesudah kebangkitan Islam dan kekalahan tentara Abu Sufyan, kekuasaan dan pengaruh kembali lagi ke dalam tangan keturunan Bani Hasyim. Walaupun Nabi menutup-nutup persoalan ini, orang banyak mengetahui juga. Pada waktu Fath Mekkah seorang sahabat berkata kepada Abbas, paman Nabi: ”Kerajaan kemenakanmu sekarang sudah meluas besar!” Abbas menjawab, bahwa Muhammad bukan raja tetapi Nabi. Meski bagaimanapun Nabi memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dan keluarganya, tetapi dendam Abu Sufyan itu rupanya tidak hilang, hanya ditutup dengan bermohon kepada Nabi untuk mengangkat anaknya Mu'awiyah menjadi pengikut dan pembantunya. Dengan demikian kerja sama berjalan untuk sementara waktu dalam masa hidup Qurun pertama.

Tetapi sesudah Nabi Muhammad wafat, dendam ini timbul kembali. Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan mencoba-coba kembali menghasut Ali dan Abbas menentang keangkatan itu, dengan mengatakan, bahwa Abu Bakar berasal dari keturunan yang hina di antara suku Quraisy, dan menganjurkan Ali bin Abi Thalib dengan janji akan dibantunya dengan kekuatan. Tetapi ikhtiar itu gagal.

Tatkala Usman bin Affan terpilih, timbullah dalam perasaan Abu Sufyan rasa kemegahan dan kepuasan balasan dendam, sehingga ia pergi ke kuburan Hamzah, paman Nabi, sambil berkata: ”Bangunlah! Lihatlah kerajaan kami yang kau perangi telah balik ke tangan kami kembali”. Kelemahan Usman dipergunakan oleh Marwan bin Hakam untuk menempatkan kembali bani Umaiyyah dalam pemerintahan, dan dengan demikian Mu'awiyah, salah seorang yang dilahirkan dalam alam rasa benci dan penuh dendam suku, didikan ayahnya Abu Sufyan dan ibunya Hindun, pembunuh Hamzah, mendapat kedudukan yang kuat (Dr. George Gerdake, Al Imam Ali, terjemah H.M. Asad Shahab, Jakarta 1960).

Meskipun Ali bin Abi Thalib menghindarkan segala perselisihan tetapi ia gugur juga dalam menentang kezaliman Mu'awiyah itu. Setelah tidak dapat dikalahkan dalam peperangan, ia dibunuh secara diam-diam dalam mesjid Kufah. Sebelum ia kembali kepada Tuhannya, masih sempat orang besar sufi ini berpesan, akan memberikan makanan yang cukup dan tempat tidur yang layak kepada pembunuhnya, Abdurrahman, yang tertangkap hidup. Dan kepada dua puteranya, Hasan dan Husein, ia menasehati: ”Jika engkau mengampuninya, maka itu sebenarnya lebih mendekati taqwa. Jaga tetanggamu baik-baik. Keluarkanlah zakat dari harta bendamu untuk fakir miskin. Hiduplah engkau bersama-sama mereka. Berkatalah baik kepada sesama manusia, sebagaimana diperintahkan Allah kepadamu. Janganlah bosan dan meninggalkan kelakuan yang baik dan menganjurkan orang berbuat baik. Rendahkan hatimu dan suka tolong-menolong sesama manusia. Jagalah, jangan sampai engkau menjadi berpecah-belah. Dan jangan bermusuh-musuhan.”

Kematian Ali dan kecelakaan atas keturunan-keturunannya secara menyedihkan ini, memberikan kesan yang mendalam kepada Bani Hasyim. Tatkala kekuatan lahir telah penuh dalam tangan Bani Umayyah, pintu hanya terbuka untuk kekuatan batin, yang disalurkan kepada tarekat-tarekat Sufi, secara kerja sama antara orang Persia dan ahli Bait, dan oleh karena itu nama-nama dari keluarga Ali bin Abi Thalib banyak terdapat kembali di dalam jalinan keyakinan Sufi.

Ada sebab-sebab yang lain yang melekaskan juga tersiarnya tarekat-tarekat itu di tempat-tempat tersebut, di antaranya kebanyakan ulama-ulama penciptanya ialah dari anak Persia, Hindi sendiri, yang meskipun muslim tetapi cara berpikir sangat dekat dengan keyakinan agama-agama Persia atau Hindu. Bahkan banyak di antara amal perbuatannya, seperti khalwat atau bertapa, menggunakan tasbih atau filsafat angka, menggunakan pendupaan, latihan berbaju buruk dan menahan lapar, safar atau mengembara, keadaan fana dan kemasukan jiwa suci, sampai sekarang masih dipersoalkan orang, apakah semua itu asli dari Islam ataukah dimasukan orang ke dalam agama Islam melalui ajaran Sufi yang diciptakan oleh ulama-ulama berasal dari Persia, Hindi, Syiria atau Mesir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam ”Al-Falsafatul Qur-aniyah” (Kairo, 1947). Semua itu merupakan, apakah terambil dari filsafat India dan Yunani. Melalui paham-paham Plato, ataukah ia merupakan bahan-bahan campuran dari sisa-sisa ibadat Mesir, India dan Yunani. Tetapi, katanya, bagaimanapun juga amal perbuatan atau cara pelaksanaan, inti ajaran tasawwuf atau Sufi itu sudah ada terdapat dalam Al Qur'an.

Demikianlah sehari demi sehari kekeluargaan-kekeluargaan tarekat itu, yang pada mula pertama bersifat lemah dan suka rela menjadi pergerakan yang kuat dan disukai oleh umum, terutama orang-orang miskin, bhs. Arab faqir, bhs. Persia darwisy, yang salih serta war'a, tidak mempunyai apa-apa, dan tidak pula mengharapkan apa-apa kecuali beramal mensucikan pribadinya. Orang-orang itu hidup dalam kekeluargaan tempat guru dan pusat dari kekeluargaan itu, bernama ribath (Persia: khangah), yang didirikan dengan sumbangan wakaf dan sedekah dari penganut-penganutnya, sehingga Syeikh dan murid-murid yang berlatih itu tidak usah memikirkan penghidupan lagi, tetapi mencurahkan seluruh tenaganya untuk beribadat, beramal, berdzikir dan melakukan wirid-wirid serta bertafakur dengan senang.

๐Ÿ™

Berkata Imam Syafi’i : “Barang siapa yang menginginkan dunia, ia membutuhkan ilmu. Barang siapa yang menghendaki akhirat, ia juga membutuhkan ilmu …”.



TUJUAN TAREKAT.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Pada waktu kita berbicara tentang ilmu pengetahuan sufi dan tasawwuf, sudah kita singgung, bahwa mereka membagikan ilmu dan amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia, yaitu syari'at, tarekat, hakikat dan makrifat. Meskipun ada golongan yang membagikan ilmu batin itu atas pembagian lain, misalnya atas hidayat dan nihayat, seperti yang kita dapati pada penganut-penganut tasawwuf (Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al Jauziyah, tetapi pembahagian yang kita jumpai adalah pembahagian yang empat macam itu.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati sufi-sufi yang mengemukakan kepada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau hakikat saja, di samping ahli-ahli fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan Islam itu kepada melakukan syari'at saja. Saya tidak ingin membentangkan hal ini panjang lebar dalam risalah yang sangat terbatas halamannya ini, karena cukup dengan saya persilahkan pembaca-pembaca menelaah karangan-karangan Imam Ghazali sebagai salah seorang yang ingin memperdebatkan kedua aliran paham daripada ulama lahir dan ulama batin itu.

Yang perlu saya catat di sini, bahwa tidak ada seorang ulama sufipun, yang ajarannya dan tarekatnya beroleh Pengakuan kebenaran dalam masyarakat Islam memperbolehkan penganut-penganutnya, hanya mengerjakan salah satu saja daripada keempat bahagian itu. Mereka berkata, bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan keempat-keempatnya, karena keempat-keempatnya itu merupakan satu tunggal bagi Islam.

Syeikh Najmuddin Al Kubro, sebagai tersebut dalam kitab ”Jami'ul Aulia' (Mesir, 1331 M), mengatakan syari'at itu merupakan uraian, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakikat itu merupakan keadaan, dan ma'rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaharah, pada syari'at dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa nafsu, pada hakikat bersih hati dari selain Allah, semuanya itu untuk mencapai ma'rifat terhadap Allah. Oleh karena itu orang tidak dapat berhenti pada syari'at saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia memperbandingkan itu dengan sampan, tarekat itu lautan, hakikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak melalui kapal dan laut.

Oleh karena itu Syeikh Ahmad Al-Khamsyakhanuwi An-Naksyabandi, pengarang kitab yang tersebut di atas, menyimpulkan, bahwa syari'at itu apa yang diperintah, dan hakikat itu apa yang dipahami, syari'at itu terpilih menjadi satu dengan hakikat, dan hakikat menjadi satu dengan syari'at.

Kedua ucapan orang Sufi itu sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan oleh Anas bin Malik: ”Barang siapa berfiqh saja, tidak bertasawwuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawwuf saja meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, tetapi barang siapa mengerjakan kedua-duanya, dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq yaitu ahli hakikat.”

Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya tarekat itu tidak terbatas banyaknya, karena tarekat atau jalan kepada Tuhan itu sebanyak jiwa hamba Allah. Pokok ajarannya tidak terbilang pula, karena ada yang akan melalui jalan dzikir, jalan muraqabah, jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembahyang, puasa, haji, dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluarkan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa dari kebimbangan dunia akan kethama'an hawa nafsu, seperti khalawat dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semua itu tidak dapat dicapai dengan meninggalkan syari'at dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini Al Junaid memperingatkan: ”Semua tarekat itu tidak berfaedah bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasul-nya.”

Maka oleh karena itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama harus mempunyai lima dasar:

  1. Menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan.
  2. Mendampingi guru dan teman setarekat untuk meneladani.
  3. Meninggalkan rukhsah dan ta'wil untuk kesungguhan.
  4. Mengisi semua waktu dengan do'a.
  5. Mengekangi hawa nafsu daripada berniat salah dan untuk keselamatan.

Mengenai tarekat Naksyabandiyah dapat kita ringkaskan atas dua hal, pertama mengenai dasar, ialah memegang teguh kepada i'tiqad Ahlus Sunnah, meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan, senantiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah, hudur terhadap Tuhan, mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan dzikir, menghindarkan kealpaan terhadap Tuhan, dan berakhlak Nabi Muhammad, sedang kedua syarat-syaratnya, diatur sebagai berikut : i'tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memperbaiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan sunnah, memilih amal menurut syari'at yang sah, menjauhkan diri daripada segala yang munkar dan bid'ah, daripada pengaruh hawa nafsu dan daripada perbuatan yang tercela.

Pokok-pokok dasar tarekat Syaziliyah di antara lain ialah: Taqwa kepada Tuhan lahir batin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan, mencegah menggantungkan nasib kepada manusia, rela dengan pemberian Tuhan dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada Tuhan pada waktu susah dan senang. Menurut tarekat ini pelaksanaan taqwa dilakukan dengan wara' dan istiqamah, pelaksanaan sunnah dengan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggantungan nasib dengan sabar dan tawakal, pelaksanaan rela terhadap Tuhan dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah dengan ucapan tahmid dan syukur.

Untuk kesempurnaan kita sebutkan juga di sini pokok-pokok tarekat Qadiriyah, yaitu lima, pertama tinggi cita-cita, kedua menjaga segala yang haram, ketiga memperbaiki khidmat terhadap Tuhan, keempat melaksanakan tujuan yang baik, dan kelima memperbesarkan arti kurnia nikmat Tuhan.

Demikianlah beberapa catatan mengenai tujuan dan pokok-pokok dasar daripada tarekat-tarekat terpenting, yaitu yang merupakan induk keyakinan daripada beberapa banyak tarekat lain. Insyaallah uraian yang panjang lebar mengenai tarekat dan seluk-beluk ilmu dan amalnya akan diuraikan pada kesempatan lain dalam kitab ini.

๐Ÿ™

Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya. Imam Ibnu Sirin berkata, “Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami’).



ILMU TAREKAT DALAM TASAWUF.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Sebagaimana sudah kita terangkan, bahwa tarekat itu artinya jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi'in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai. Guru-guru yang memberikan petunjuk dan pimpinan ini dinamakan Mursyid yang mengajar dan memimpin muridnya sesudah mendapat ijazat dari gurunya pula sebagaimana tersebut dalam silsilahnya. Dengan demikian ahli Tasawwuf yakin, bahwa peraturan-peraturan yang tersebut dalam ilmu syari'at dapat dikerjakan dalam pelaksanaan yang sebaik-baiknya.

Orang Islam yang tidak mengerti ilmu tasawwuf acapkali bertanya secara mengejek, mengapa ada pula ilmu Tarekat, apa tidak cukup ilmu Fiqh itu saja dikerjakan untuk melaksanakan ajaran Islam itu. Orang yang bertanya demikian itu sebenarnya sudah melakukan ilmu tarekat, tatkala gurunya yang mengajarkan ilmu fiqh itu kepadanya, misalnya sembahyang, menunjuk dan membimbing dia, bagaimana cara melakukan melakukan ibadat sembahyang itu, bagaimana mengangkat tangan pada waktu takbir pembukaan, bagaimana berniat yang sah, bagaimana melakukan bacaan, bagaimana melakukan Mukti dan sujud, semuanya itu dengan sebaik-baiknya. Semua bimbingan guru itu dinamakan tarekat, secara minimum tarekat namanya, tetapi jika pelaksanaan ibadat itu berbekas kepada jiwanya, pelaksanaan itu secara maksimum hakekat namanya, sedang hasilnya sebagai tujuan terakhir daripada semua pelaksanaan ibadat itu ialah mengenal Tuhan sebaik-baiknya, yang dengan istilah sufi makrifat namanya, mengenal Allah, untuk siapa dipersembahkan segala amal ibadat itu.

Dalam ilmu tasawwuf penjelasan ini disebut disebut demikian: Syari'at itu merupakan peraturan, tarekat itu merupakan pelaksanaan, hakekat itu merupakan keadaan dan makrifat itu adalah tujuan yang terakhir. Dengan lain perkataan Sunnah harus dilakukan dengan tarekat, tidak cukup hanya keterangan dari Nabi saja, jikalau tidak dilihat pekerjaannya dan cara melakukannya, yang melihat itu adalah sahabat-sahabatnya, yang menceritakan kembali, kepada murid-muridnya, yaitu tabi'in, yang menceritakan kepada pengikutnya, yaitu tabi-tabi'in, dan selanjutnya, sebagaimana yang dituliskan dalam hadits, dalam Asar dan dalam kitab-kitab ulama.

Jadi dengan demikian itu dapatlah kita katakan bahwa bukanlah Qur'an itu tidak lengkap atau Sunnah dan ilmu fiqh itu tidak sempurna, tetapi masih ada penjelasan lebih lanjut dan bimbingan lebih teratur, agar pelaksanaan daripada peraturan-peraturan Tuhan dan Nabi itu dapat dilakukan menurut semestinya, tidak menurut penangkapan otak orang yang hanya membacanya saja dan melakukan sesuka-sukanya. Naksyabandi berkata bahwa Syari'at itu segala apa yang diwajibkan, dan hakekat itu segala yang dapat diketahui, syari'at itu tidak bisa terlepas daripada hakekat dan hakekat itu tidak bisa terlepas daripada syari'at. Agaknya inilah maksudnya Imam Malik mengatakan, bahwa barang siapa mempelajari tasawwuf, maka dia fasik, barang siapa mempelajari tasawwuf saja dengan tidak mengenal fiqh, maka dia itu zindiq, dan barang siapa mempelajari serta mengamalkan kedua-duanya, maka ia itulah mutahaqqiq yaitu ahli hakekat yang sebenar-benarnya.

Sebagai contoh dapat kita sebutkan, thaharah atau bersuci, menurut syari'at dilakukan dengan air atau tanah, tetapi ada tingkat yang lebih tinggi dengan tidak keluar dari garis syari'at bahkan lebih menyempurnakannya, yaitu melakukan thaharah secara tarekat, dengan membersihkan diri kita daripada hawa nafsu sehingga kebersihan itu dilakukan secara hakekat, yaitu mengosongkan hati kita daripada segala sesuatu yang bersifat selain Allah.

Maka bagaimanapun juga perselisihan pengertian, tidak dapat tidak kita akui bahwa semua syari'at itu hakekat, dan semua hakekat itu syari'at pada dasarnya, syari'at itu disampaikan dengan perantaraan Rasul dan hakekat itu maksud yang terselip di dalamnya, meskipun merupakan sesuatu yang tidak diperoleh dengan perintah. Syari'at di umumkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang wajib dilakukan dan pekerjaan-pekerjaan yang terlarang yang harus dijauhkan, sedang dengan hakekat itu kita diajarkan membuka dan mengenal rahasia-rahasianya yang tersembunyi di dalamnya. Apabila rahasia ini sudah kita kenal, kita kenal pula penciptanya, yaitu Allah, dan lalu bertambah gembiralah kita dan yakin kepada_Nya serta mengerjakan amalan-amalan itu.

Jadi syari'at dan tarekat itu tidak lain daripada mewujudkan pelaksanaan ibadat dan amal, sedang hakekat itu memperlihatkan ihwal dan rahasia tujuannya.

Acapkali kita bertemu dalam ilmu fiqh, bahwa dalam suatu hukum terkadang tiga macam cara mengerjakannya. Jika kita sebutkan dengan istilah sufi, dalam suatu syari'at ada tiga macam tarekat untuk mencapai tujuannya. Misalnya Nabi membasuh tangan dalam wudhu, ada satu kali, ada yang dikerjakan dua kali, dan ada yang dikerjakan tiga kali, dengan ada keterangannya mengenai ketiga cara itu. Demikian juga berkenaan dengan yang lain-lain, mengenai keyakinan ber-Tuhan, mengenai membersihkan diri, dan mempertinggi mutu akhlak mengenai kebahagiaan manusia, dsb.

Dan oleh karena itu Nabi selalu memberikan jawaban yang berlainan, tatkala ditanyakan orang manakah thuruq atau jalan yang sedekat-dekatnya pada Tuhan. Misalnya mengenai taqarrub menebalkan keyakinan kepada Tuhan, yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah. Kata Ali bin Abi Thalib : ”Aku berkata kepada Rasulullah. Tunjuki daku thuruq yang sedekat-dekatnya dan semudah-mudahnya serta yang semulia-mulianya kepada Allah, yang semudah-mudahnya dapat dikerjakan oleh hamba_Nya!” jawabnya: ”Ya Ali, hendaklah engkau selalu zikir dan ingat kepada Tuhan, terang-terangan atau diam-diam”. Kataku pula: ”Tiap orang berzikir, sedang aku menghendaki daripadamu yang khusus untukku”. Jawabnya: ”Sebaik-baiknya perkataan yang aku ucapkan dan yang diucapkan oleh Nabi-nabi sebelumku ialah kalimah Syahadat”La ilaha illallah”, tiada Tuhan melainkan Allah. Jika ditimbang dengan dacing, pada sebuah daun timbangan ditumpukkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi, dan pada daun yang lain diletakkan kalimah Syahadat itu, pasti daun timbangan yang membuat kalimah Syahadat itu lebih berat daripada yang lain”.

Mungkin tiap orang bisa menangkap salah keterangan ini dengan mengambil kesimpulan, bahwa yang perlu untuk mendekati Tuhan hanyalah ucapan tahlil, tidak perlu sembahyang, tidak perlu puasa, tidak perlu zakat dan tidak perlu haji. Tarekatlah dan mursyidnya yang akan menunjuk mengajari orang itu serta membimbingnya, bahwa maksudnya itu bukan demikian. Di samping semua kewajiban agama, yang kadang-kadang dikerjakan dengan tidak berjiwa, keyakinan mentauhidkan Tuhan itulah yang tidak boleh ditinggalkan, apakah tauhid itu akan diucapkan dengan lidah sebagai latihan, apakah ia akan diresapkan dengan ingatan, semua itu pekerjaan seorang mursyid yang bijaksana. Lebih dahulu meresapkan ke-Esa-an Tuhan, kemudian baru ta'at dan mempersembahkan amal ibadat kepada_Nya.

Ilmu tasawwuf mengajarkan dari pengamalan dan filsafatnya, bahwa riadhah amalan saja tidak dapat memberi bekas dan memberi faedah apa-apa, juga tidak mendekatkan hamba kepada Allah, selama riadhah itu tidak sesuai dengan syari'at sejalan dengan Sunnah Nabi. Al Junaid berkata, bahwa semua yg tarekat itu tertutup bagi manusia, kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah.

Pokok dari semua tarekat itu adalah lima:

  1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan semua perintah.

  2. Mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk melihat bagaimana cara melakukannya sesuatu ibadat.

  3. Meninggalkan segala rukhsah dan ta'wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal.

  4. Menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisikannya dengan segala wirid dan do'a guna mempertebalkan khusyu' dan hudur.

  5. Mengekang diri, jangan sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri itu terjaga daripada kesalahan.

Hal ini kita terangkan dalam bahagian mengenai tujuan tarekat lebih jauh.

๐Ÿ™

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim”. (HR. Ibn. Majah, Thabrani, Baihaqi dan Ibn.'Adi).