ADAB MURID TERHADAP DIRINYA SENDIRI.

”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Adab-adab murid yang harus diperhatikan untuk dirinya sendiri dalam kehidupan tarekat banyak sekali. Tetapi yang terpenting dan yang paling utama ialah bahwa ia meyakini Allah Ta'ala itu senantiasa melihat kepadanya dan mengawasi dia dalam segala tingkah lakunya dan dalam segala keadaan. Oleh karena itu hendaklah ia selalu ingat kepadanya, baik sedang berjalan, baik sedang duduk, atau sedang sibuk dengan salah satu pekerjaan, karena semua itu tidak dapat mencegah dia daripada dzikir dan ingat kepada Tuhannya, bahkan demikian rupa sehingga nama Tuhan itu mengalir ke seluruh pojok dan liang-liang hatinya.
Lain daripada itu pertama, harus ia meninggalkan semua teman-teman yang jahat, dan mencari serta mempergauli orang-orang yang baik. Nabi Musa beroleh wahyu dari Tuhannya : ”Jangan kamu bergaul dengan ahli hawa, mereka akan memberi bekas kepada hatimu yang tidak layak”. Maka oleh karena itu bergaul dengan orang yang baik beroleh kebajikan, bergaul dengan orang yang jahat beroleh kejahatan. Seorang sufi bersyair:
- Ruh laksana angin lalu, melalui athar menjadi wangi, baunya akan harum selalu, terpengaruh oleh minyak wangi.
- Jika angin meniupi bangkai, bau berubah menjadi busuk, demikianlah ruh jika merangkai, berubah-ubah keluar masuk.
Di antara adab juga ialah menjauhkan anak isterinya pada waktu berzikir. Adab kedua ini sangat penting baginya, karena pada waktu ia berzikir haruslah seluruh perhatian jiwa dan hatinya ditujukan kepada Tuhan semata-mata, tidak boleh berpaling dan terganggu dengan suasana lain. Memilih tempat yang sempit dan gelap lebih baik daripada tempat yang luas dan terang, diterangi oleh cahaya matahari atau cahaya lampu pelita. Yang sama dengan cahaya lampu, pelita itu ialah anak isteri, yang gerak-gerik serta kelakuannya, perkataannya dan senda guraunya, dapat menggangu dia dalam perjalanannya, dan melemahkan hatinya yang zikir.
Ketiga hendaklah meninggalkan segala kesenangan hidup yang berlimpah-limpah, mengambil sekedar apa yang perlu dari makanan, minuman, pakaian dan hubungan suami-istri. Ghazali berkata: ”Tuhan menjadikan makanan dan minuman di dunia ini sebab untuk mengusutkan hati, untuk memberatkan semua anggota badan mengerjakan ta'at, dan menulikan telinga dari mendengar pelajaran-pelajaran yang baik.”
Keempat bahwa ia meninggalkan cinta, dan selalu melihat serta memikirkan akhirat, karena cinta kepada Allah itu tidaklah dapat ke dalam hati seseorang yang mencintai dirinya.
Kelima jangan ia tidur dalam keadaan jinabah, selalu bersih, bahkan lebih baik ia tidur dalam wudhu.
Keenam dan ketujuh jangan ia menghendaki apa yang ada pada orang lain, dan apabila ia kekurangan rezeki, hendaklah ia sabar, dan berkeyakinan bahwa dalam perjalanan menemui Tuhannya ia tidak membutuhi kekayaan dan kesenangan dunia.
Kedelapan selalu ia perhitungkan kebaikan dan keburukan dirinya, senantiasa bersungguh-sungguh dalam tarekatnya, jika ia menjumpai kesukaran dan kekurangan, ia berkata kepada dirinya: ”Hendaklah engkau sabar, kegembiraan itu ada di depanmu. Memang aku menghendaki keletihanmu untuk kesenanganmu nanti di akhirat.”
Kesembilan hendaklah ia nenyedikitkan tidurnya, terutama pada waktu sahur dan berdo'a serta beramal sebanyak-banyaknya, karena waktu itu adalah waktu mustajab.
Kesepuluh dan kesebelas membiasakan dirinya makan yang halal, dan membiasakan dirinya makan sedikit, berusaha mengangkat tangannya sebelum kenyang, karena yang demikian itu membuahkan kesungguhan dalam mengerjakan ta'at, dan menghilangkan malas.
Kedua belas dan ketiga belas, memelihara lidah dan matanya. Hendaklah dijaga agar lidahnya tidak mengucapkan omong kosong, sambil mengawasi hatinya jangan dalam syak wasangka. Barang siapa yang dapat memelihara lidahnya dan menetapkan hatinya, akan terbukalah baginya rahasia-rahasia yang pelik. Sesudah itu ia harus menjaga matanya dari pada melihat yang cantik-cantik, karena melihat yang cantik dan molek itu seperti racun yang dapat membunuh atau laksana anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, dapat mengenai dan membunuh hatinya. Demikianlah keadaan manusia yang memandang sesuatu dengan keinginan syahwatnya. Junaid berkata, bahwa kegagalan yang acapkali menimpa seseorang murid ialah selalu banyak bicara, terlalu banyak bergaul dengan perempuan, oleh karena itu hendaklah murid selalu bergaul dengan orang-orang baik, Murad, murid-murid yang terpilih, terutama dalam khalwatnya.
Keempat belas, jangan suka bersenda gurau, karena yang demikian itu dapat mematikan hati dan jiwa, dan mengakibatkan kegelapan. Jikalau seorang salik mengetahui betapa kemunduran ikhwalnya karena senda gurau, tentu ia tidak akan mengerjakan yang demikian itu sekali lagi. Nabi berpesan: ”Jangan engkau mengganggu dan memperolok-olokan saudaramu!” Maka oleh karena itu baiklah ditinggalkan senda gurau itu, kecuali pada waktu-waktu yang diperlukan ketika bingung dan ketika bersedih hati.
Kelima belas, meninggalkan tanya menanya dan perdebatan, apalagi pertengkaran tentang sesuatu pembahasan ilmu, karena yang demikian itu acapkali membawa manusia kepada kealpaan dan kekeruhan. Jikalau sesuatu perdebatan sudah terjadi, maka segera meminta ampun kepada Allah, dan meminta diri kepada mereka yang ingin melakukan perdebatan atau melanjutkan pembahasan itu. Cegahlah perdebatan tentang diri orang lain.
Keenam belas, bersedia diri mendangi dan mempergauli orang-orang yang sedang bingung dan sempit pikirnya, dan mencoba membicarakan adab-adab yang baik yang dapat membukakan jiwanya yang sedang sempit itu.
Ketujuh belas, mencintai kedudukan dan pengaruh, kebesaran dan kemegahan dapat memutuskan jalan kepada kebenaran.
Kedelapan belas, murid-murid hendaklah tawadhu', kesembilan belas hendaklah ia selalu takut kepada Tuhan, sambil meminta ampun, terhadap dosa yang tidak kelihatan, dalam ibadahnya maupun dalam dzikirnya.
Kedua puluh tidak menerangkan kepada seseorangpun apa yang dilihatnya dalam mimpi atau dalam jiwanya daripada rahasia-rahasia yang diperlihatkan Tuhan kepadanya, kecuali kepada gurunya sendiri.
Kedua puluh satu hendaklah ia menjaga waktu yang tetap untuk dzikir kepada Tuhannya, dengan cara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syeikhnya, tidak ditambah tidak dikurangi. Memang banyak sekali adab-adab murid-murid terhadap dirinya, yang kita tidak ingin menceritakannya semua di sini berhubung dengan halaman-halaman yang terbatas. Murid itu sendiri hendaklah mencari kelebihan-kelebihan dirinya dalam uraian yang lebih panjang. Tetapi meskipun demikian kita tidak dapat meninggalkan beberapa hal yang yang acapkali terdapat pada murid sufi itu, seperti adab pada waktu mereka menziarahi kuburan-kuburan orang orang keramat dan wali-wali.
Dalam kitab-kitab Sufi diterangkan bahwa seorang murid hendaknya sering mengunjungi kuburan wali-wali itu untuk mendapat berkah dan mengenangkan dia pada mati. Apabila ia mengunjungi kuburan orang keramat itu, dan jiwa kerohaniannya melimpah padanya, maka hendaklah memperhatikan beberapa adab, ia memberi salam kepada yang meninggal itu, ia berdiri di sebelah kakinya pihak kanan, ia menghadap kiblat, ia meletakkan tangan kanan ke atas tangan kirinya di pusatnya, dan dengan membungkuk sedikit ia membaca Fatihah satu kali surat Ikhlas sebelas kali, ayat kursi satu kali, yang semua pahalanya diniatkan untuk orang yang sudah wafat itu, baik gurunya maupun orang alim lainnya. Kemudian perlahan-lahan ia duduk dekat kubur itu dan melepaskan semua pikiran yang mengikat dia selain daripada menujukan kepada orang mati itu, ia bersabar, ia menggambarkan cahaya rohani dari orang yang mati itu, seakan-akan dapat dirasakan dan dipindahkan ke dalam hatinya, di kenangkan seluruh hal ihwal khawas yang ada pada orang itu.
Dalam kitab”Tanwirul Qulub” dijelaskan bahwa orang umum diperkenankan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan dan tabut pada kuburan wali, jika mereka menghendaki tabaruk dan mengi'tikadkan bahwa yang memberi bekas dalam hakikat yang sebenarnya hanya Allah, mereka memperbuat sesuatu hanya karena cinta kepada orang yang dicintai Allah.
Hiasilah Diri dengan Keindahan Ilmu
Menghiasi diri dengan keindahan ilmu berupa bagusnya budi pekerti, bersikap tenang, berwibawa, khusus, tawadhu, dan senantiasa bersikap istiqamah secara lahir maupun batin, serta tidak melakukan segala yang bisa merusaknya. Imam Ibnu Sirin berkata, “Dulu para ulama mempelajari budi pekerti sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jaami’).
Sumber: Dari buku Pengantar Ilmu Tarekat
Oleh: Prof. Dr. H. Abubakar Aceh.
Oleh: Prof. Dr. H. Abubakar Aceh.


